Jumat, 06 Mei 2011

Seberapa Seriuskah Hukum Membuktikan Perhatiannya Pada Diri Seorang yang Bernama Wanita

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara perempuan sangatlah erat dengan perlakuan culture masyarakat yang melingkari kehidupannya. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa culture tersebut negatif terhadap perempuan? Ini adalah pertanyaan dasar yang harus kita jawab secara serius, karena pertanyaan ini akan berimbas sangat jauh, khususnya pada sudut pandang Islam yang kita jadikan sebagai panduan hidup kita sebagai muslim. Pertanyaan selanjutnya adalah, Apakah Allah telah mentakdirkn perempuan tidak menjadi wanita seutuhnya? Benarkah secara fitrah nilai perempuan setengah dari laki-laki? Apakah secara kodrati, jenis kelamin perempuan merupakan kelas dua dibawah kelas laki-laki? Kami menilai pertanyaan ini sangat wajar untuk kita munculkan, karena culture masyarakat muslim lebih memprioritaskan laki-laki dan diutamakannya dibanding perempuan. Bahkan laki-laki lebih sering dinomor satukan, persoalannya bukan karena apa-apa, tapi justru karena ia adalah laki-laki. Selanjutnya, Sebegitu sub-bordinatkah perempuan? Apakah Islam dalam hal ini Alquran dan hadits melegitimasikan culture tersebut ?
Kajian masalah wanita memang menjadi topik yang sangat hangat, seiring dengan pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung keyakinan pribadi pada setiap orang. Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat- ayat al-Qur’an, menghujat Hadits-hadits dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.
Permasalahan didalam Al Quran maupun hadits yang sering dianggap misoginis adalah seperti permasalahan poligami, warisan, persaksian, kepemimpinan dan penciptaan perempuan itu sendiri, oleh karena itu mungkin untuk mendeteksi ke obyektifan sebuah ungkapannya Allah dan Rasul setidaknya kita sebagai penafsir mempunyai tolak ukur tersendiri, tidak secara teks namun perlu kita teliti wahyu dan hadits itu kapan disampaikan, kepada siapa, dimana dan mengapa ?
Al Quran dan Hadits yang kita pergunakan sebagai panduan hidup, tentunya dalam menafsirkannya dalam kehidupan memiliki dua sudut pandang dasar; secara tekstual atau konstektual? Tekstual; memahami aquran dan hadits teks dan konteks yang ada pada saat ayat Al Quran itu diturunkan atau pada saat Hadist rasul tersebut diriwayatkan. Cara pandang tekstual yang penulis sampaikan akan membentuk paradigma tersendiri bagi tatanan masyarakat, berikut dengan culture masyarakatnya. Jika ketika ayat atau hadits tersebut disampaikan culture masyarakatnya adalah patriarkhi, maka pemahaman masyarakatnya setempat pada waktu itu juga akan cendrung berpihak pada laki-laki. Sedangkan kontekstual; memahami teks alquran dan hadits dengan meneliti kembali bagaimana konteks ketika ayat dan hadits tersebut ada, dan setelah itu kemudian barulah diinterpretasikan dengan konteks kekinian. Pemahaman konstekstual akan memberikan kontribusi yang lebih berkeadilan dengan tetap menghargai atau tidak keluar dari nilai yang terkandung dalam teks Al Quran dan Hadits semenjak ia diturunkan.
Pada kurun pertama kebangkitan peradaban Islam, sepeninggal khulafaur rasyidin, sejarah mencatat terjadi perubahan fundamental dalam struktur kekuasaan kekhalifahan Islam. Dari sistem pemilihan yang demokratis menjadi sistem monarkhi yang absolut. Memang dengan sistem politik yang tidak berdasarr al Quran maupun sunnah ini, peradaban Islam telah mengalami dua kali kebangkitan dan mencapai puncak-puncaknya, namun bersamaan dengan degradasi politik rakyat ini, terjadi pula degradasi sosial kedudukan wanita.
Begitu sistem monarkhi ditetapkan, raja-raja daulah Islamiyah mengambil sistem pergundikan non Islami dari kerajaan-kerajaan luar. Sedihnya, mereka membenarkan tindakan mereka dengan membuat hadits-hadits palsu. Bersamaan dengan inilah maka timbul banyak hadits-hadits yang merendahkan derajat wanita secara berlebih-lebihan. Hal ini menjadi lebih runyam, karena kaum pria lalu ikut memanfaatkan situasi ini sehingga menjadi ranculah mana yang sebenarnya sunnah rasul dan mana yang sebenarnya adat kebiasaan bangsa Arab dan mana yang merupakan kebiasaan bangsa ajam yang diarabkan.
Dalam artikel “Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Gender (Pendekatan Hermeneutika)”, Nasaruddin Umar menyatakan bahwa karena bahasa adalah budaya, maka untuk memahami kata diperlukan pemahaman terhadap konteks kebudayaan pengguna bahasa tersebut. Untuk memahami Al Quran, misalnya tidak hanya pendekatan tekstual seperti disebutkan diatas tetapi juga pendekatan interdisipliner. Hal ini dikarenakan bahwa ide dan gagasan Allah swt dapat terwakili 100  didalam simbol bahasa Arab. Karena itu, agar dapat memahami dengan lebih tepat kehendak Allah SWT dalam kitab suci, seorang pengkaji dituntut memiliki wawasan semantik dan hermeneutik.
Untuk itulah kiranya penulis merasa perlu untuk mengkaji dan menginterpretasi lebih jauh kajian yang yang seolah memihak kepada seorang lelaki, hanya menjadikan wanita sebagai pelengkap dan ciptaan kedua dari Tuhan untuk selanjutnya wajar bila potensi amal ini diperebutkan seutuhnya oleh kaum lelaki, sebagai biasnya adalah wanita hanya makhluk setengah jadi baik untuk ladang amal keakhiratan, posisi strategis keduniawian. Benarkah demikian?. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan meneliti dengan mengangkat sebuah judul “Misoginiskah Al Quran dan Hadits Terhadap Perempuan ?.
B. Rumusan Masalah
Setelah melihat dari berbagai aspek dari latar belakang yang kemudian telah dimunculkan dari latar belakang diatas maka penulis akan memberikan sebuah rumusan yang nanti akan dibahas secara lebih cermat dan mendalam dalam pembahasan. Diantara rumusan itu adalah :
1. Bagaimanakah Budaya yang Membentuk Patriarkhi Terhadap Perempuan Ditengah Kehadiran Islam Sebagai Sebuah Agama yang Universal?.
2. Seperti Apakah Pandangan Islam Terhadap Perempuan dalam Lintas Budaya dan Peradaban yang Telah dilukiskan Oleh Sejarah?.
3. Bagaimanakah Memahami dan Memaknai Ulang Ayat-ayat dan Hadits Terhadap Seorang Perempuan Dalam Konteks Kekinian?.
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian dalam makalah ini adalah memberikan kejelasan latar belakang timbulnya ketegangan dan implikasi lanjutannya. Dengan demikian sikap atau pemahaman apapun terhadap nash baik Al Quran maupun Hadits untuk menjadi sebuah keyakinan yang menjadi ajaran shalih likulli zaman wa al makan (sesuai dengan berbagai alur situasi dan kondisi) akan lebih proposional terutama dalam hal kemanusiaan dan reaksi Islam terhadap perempuan.
Dalam konteks peradaban manusia sekarang, kebutuhan terhadap dasar-dasar agama yang legitimate dirasa telah mendesak termasuk upaya-upaya dan mengembalikan maslah-masalah yang dihadapi manusia modern kepada ketentuan yang ada dalam Al Quran dan Hadits, termasuk Hadits-hadits yang dalam kitab sahih al Bukhari dan sahih Muslim dengan kriteria yang masuk akal, jika pada masa dahulu (zaman keterpurukan), ketaatan umat beragama bisa diukur dengan ketaatan tanpa reserve terhadap kaidah, tafsir dan aturan baku yang dilembagakan oleh institusi dan tokoh-tokoh agama, maka tuntutan modernisasi dimana demokratisasi dan penerapan hak asasi manusia menuntut perubahan sikap, menuntut pula transformasi sikap dan tindakan baik terkait dengan keyakinan maupun tindakan sosial manusia. Hak asasi manusia telah demikian menjadi standard dalam penilaian harkat dan martabat manusia sehingga mengabaikan hal ini akan membawa kepada konstruksi peradaban yang rendah. Sehingga pemahaman umat Islam terhadap perubahan tuntutan ini juga perlu diimbangi dengan perhatian terhadap ajaran Islam yang telah dikonstruksi pada masa lalusebagai produk pemikiran ia bersifat historis karena diciptakan manusia dalam konteks historis tertentu.
Dengan melihat fenomena kebangkitan kesadaran akan pluralitas pemahaman dan respon terhadap situasi yang berkembang, dalam skala praktis, adanya ayat dan Hadits-hadits yang ditenggarai mengandung ajaran-ajaran yang bisa merusak pelaksanaan hak asasi manusia memerlukan peninjauan kritis.
D. Kerangka Teori
Dalam makalah ini hanya akan dibatasi analisis beberapa teks ayat maupun Hadits kontroversial sebagai berikut. Apakah teks-teks seperti itu menunjukkan kekurangan perempuan secara eksistensial?. Jika teks-teks tersebut menunjukkan kekurangan eksistensial perempuan, lantas bagaimana halnya dengan pribadi-pribadi seperti Maryam as dan Asyiah as, dimana Allah swt telah memuji mereka dalam al-Qur’an. Atau juga seperti sosok Khadijah as, dan Fathimah Zahra as dimana Allah swt telah memuji mereka melalui Rasul-Nya, dan sebagainya yang merupakan manusia sempurna (insan kamil)? Padahal, konsekuensi sebagai manusia sempurna bukankah berarti akal dan iman mereka harus sempurna juga?
Ternyata dalam ayat-ayat Al-Qur’an juga banyak menggunakan bentuk maskulin yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Kelompok pertama, ayat-ayat yang tidak dikhususkan untuk satu jenis saja seperti ayat yang menyebutkan kata an-nas atau insane (manusia) atau yang disebut dengan kata man (siapa). Kelompok kedua, ayat-ayat yang berbicara tentang pria seperti ayat-ayat yang menggunakan bentuk maskulin (kata yang mengandung arti banyak dengan diakhiri dengan huruf waw dan nun atau ya’ dan nun seperti kata muslimun atau muslimin), dan ayat yang mengandung arti maskulin sebagai kata ganti dari kata nas atau yang lainnya, misalnya kata yu’allimikum dan lain-lain. Semua itu berdasarkan bahasa tersendiri yang digunakan al-Qur’an. Ketika mereka ingin mengatakan, “orang-orang berkata demikian, orang-orang mengharapkan demikian, orang-orang menyuarakan demikian”, kata “orang-orang” yang dalam bahasa Arabnya an-nas bukanlah sebagai lawan dari kata an-nisa (wanita) namun yang dimaksudkan an-nas (orang-orang) adalah khalayak ramai. Dari sini, maka kita pun tidak dapat menyimpulkan bahwa al-Qur’an selalu cenderung menggunakan bentuk maskulin dalam ungkapan-ungkapannya, karena hal itu cukup popular digunakan dalam dunia kesusastraan Arab. Kelompok ketiga, kata-kata yang menggunakan kata pria dan wanita. Dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa dalam hal ini bukan masalah pria dan wanita, namun untuk menjelaskan bahwa antara pria dan wanita tidak terjadi perbedaan, hal itu seperti dalam firman Allah yang berbunyi;
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perrempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (Qs. An-Nahl:97)”
Beberapa langkah yang harus dilalui dalam melihat fenomena Hadits. Pertama, menganalisa sanad Hadits tersebut, apakah memenuhi standar legal yang diperlukan atau tidak? Jika ternyata dari sisi sanad tidak terdapat masalah, lanjutkan dengan langkah berikutnya. Kedua, harus memahami muatan hadis tersebut. Untuk memahami muatan teks suatu Hadits, terutama seperti Hadits di atas, kita harus melihat semua teks-teks Hadits yang berkaitan dengannya. Apakah ada pertentangan di antara Hadits-hadits tersebut atau tidak? Ketiga, melihat situasi dan kondisi ketika riwayat tersebut disampaikan oleh perawi Hadits, sehingga dapat lebih mudah memahaminya. Inilah langkah-langkah umum untuk memahami Hadits dengan benar.
Sampai di sini, sunnah sudah menjadi opini publik sampai pada abad ke-2 H. sunnah sudah disepakati oleh kebanyakan ulama dan dipresenstasikan sebagai Hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Oleh karena itu, Fazlur Rahman menganggap upaya reduksi sunnah ke Hadits ini telah memasung kreativitas sunnah dan menjerat ulama Islam dalam memasang rumusan yang kaku. Fazlur Rahman lebih jauh mengungkap kekakuan dalam hal ini membuat mereka akan terjerembab pada vonis yang tidak sedap, yaitu inkar al-sunnah. Inilah yang membedakan dengan kajian terhadap al-Qur’an. Penafsiran seseorang terhadap al-Qur’an bagaimanapun keadaannya baik liberal maupun sangat liberal tidaklah dianggap sebagai sebuah penyelewengan sehingga dijuluki sebagai seorang yang ingkar al-Qur’an.
E. Metodologi Penelitian
Universalisme Islam yang melampaui semua perbedaan manusia memberikan makna kesederajatan manusia di hadapan Tuhan dengan cara membebaskan berbagai nilai yang dianggap sumber normatif nilai : suku, ras, agama, tanah air, etnis, jenis kelamin, dan kebudayaan. Kesederajatan tanpa diskriminasi itu bersifat asasi karena setiap pembedaan manusia atas dasar sumber normatif nilai diatas merupakan bentuk ancaman terhadap nilai-nilai dan hak-hak asasi manusia. Pengkajian dan pengujian terhadap ayat Al Quran dan Hadits yang secara lahiriah dianggap bernada misoginis kebutuhan yang sangat perlu untuk diteliti.
Oleh karena itu metode yang dipergunakan untuk menindak lanjuti penelitian ini adalah metode kritik teks dan berusaha untuk menghadirkan esensi dari pada sebuah teks tersebut untuk kemaslahatan dan koreksi hukum saat ini. Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan rekonstruksionis-reformis. Dalam pandangan pendektaan ini, teks-teks fondasional Islam, bila dipahami secara komprehensif akan membawa kita pada kesimpulan bahwa Islam sesungguhnya membebaskan perempuan, bukan mengekangnya.
Proses analisis data dilakukan agar mengetahui bagaimana pemahaman teks, konteks dan spirit dari sebuah kondisi sejarah tertentu khususnya dimana ketika ayat maupun Hadits itu disampaikan. Agar lebih memudahkan analisis data maka analisis dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagaimana yang telah disampaikan Lexy Moleong, tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut :
1. Menelaah dan mempelajari data yang tersedia dari berbagai sumber, baik data yang bersipat primer maupun sekunder yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.
2. Mereduksi data dengan membuat rangkuman berupa pernyataan-pernyataan yang perlu di olah.
3. Menyusun data dalam satuan-satuan analisis.
4. Memeriksa kembali keabsahan data sehingga data-data yang absah yang akan dimasukkan kedalam hasil penelitian.
5. Mengambil kesimpulan dengan cara induktif abstraktif yaitu kesimpulan yang bertitik tolak dari yang khusus ke umum.
Teknik analisisnya meliputi teknik interpretasi berdasar kaedah teks dan konteks. Teks dalam arti peristiwa otentiknya dan konteks dalam arti keterkaitan peristiwa itu dengan kondisi yang melingkunginya. Teknik interpretasi ini dijabarkan prakteknya lewat 3 (tiga) cara, yaitu, pertama, pemahaman terhadap data tertulis, entah berupa data peristiwa, pemikiran dan aksi. Kedua, menghubungkan antar data, asumsi, dan penalaran hipotesis yang dapat mengantarkan kepada kesimpulan logis argumentatif. Ketiga, menarik makna yang terkait dengan roh zamannya, baik berupa, makna keterkaitan, makna keunsuran, makna keterpengaruhan, atau makna kausalitas. Semua itu dinarasikan.
F. Sistematika Pembahasan
Guna memudahkan para pembaca sekalian dalam memahami dan menelaah isi penelitian ini maka penulisan karya ini menggunakan pembahasan per bab, dimana setiap bab akan ditampilkan sesuai dengan urutan permasalahan yang diperinci lagi kepada sub-sub atau pasal-pasal. Adapun gambaran garis-garis besar penelitian ini adalah :
BAB I. Merupakan Pendahuluan yang berisikan; A. Latar Belakang Masalah, B. Rumusan Masalah, C. Tujuan Penelitian, D. Kerangka Teori, E. Metodologi Penelitian, F. Sistematika Pembahasan.
BAB II Pada bab ini akan dikaji pembahasan yang meliputi; Budaya Patriarkhi Terhadap Perempuan di Tengah Kehadiran Islam. A. Kesenjangan Sosial. B. Misoginis
BAB III Pandangan Islam Terhadap Perempuan Dalam Lintas Budaya
BAB IV A. Memahami dan Memaknai Ulang Ayat-ayat dan Hadits Terhadap Seorang Perempuan dalam Konteks Kekinian, A. Antara Al Quran dengan Misoginis, i. Penciptaan Wanita, ii. Poligami, iii. Warisan, B. Memahami Hadits Memenuhi Relasi Gender, i. Hadis tentang Rasulullah saw akan menyuruh wanita sujud pada suaminya jika dibolehkan sujud pada selain Allah, ii. Hadis tentang istri dilaknat malaikat jika tidak memenuhi panggilan suami ke tempat tidur, iii.
BAB V Penutup
Daftar Pustaka

BAB II
Budaya Patriarkhi Terhadap Perempuan
Ditengah Kehadiran Islam

A. Kesenjangan Sosial
Patriarkhi yang berpijak dari konsep superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan anak-anak telah menjadi isu sentral dalam wacana feminisme. Laki-laki sebagai patriarch menguasai anggota keluarga, harta dan sumber-sumber ekonomi serta posisi pengambil keputusan. Dalam relasi sosial, superioritas laki-laki juga mengandalikan norma dan hukum kepantasan secara sepihak. Dalam catatan sejarah (Patriarkhi), perempuan dipandang sebagai makhluk inferior, emosional dan kurang akalnya. Kentalnya dominasi budaya patriarkhi seringkali tidak mampu direntas secara tuntas oleh agama-agama yang dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan yang berbasis etnik, ras, agama maupun gender. Setelah para utusan Tuhan pewarta wahyu wafat maka secara berangsur-angsur penafsiran kitab suci kembali dikendalikan oleh nilai-nilai patriarkhis.
Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan insani. Pada saat itu pula Islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta menempatkannya secara adil.
Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini.
Berbeda dalam kajian filsafat Barat, manusia perempuan secara mayoritas dianggap sebagai makhluk yang lemah dan cacat, sehingga ia harus ditempat sebagai manusia kelas kedua setelah laki-laki. Mulai dari Plato (427-347 SM) yang idealis dan Aristoteles (384-322 SM) yang empirik sampai Jean-Paul Sartre (1905-1980 M) yang eksistensialis, hampir semuanya menganggap demikian. Paling-paling hanya Jhon Stuart Mill (1806-1873 M) yang ahli psikologi yang menganggap perempuan mempunyai kemampuan setara dengan laki-laki.
Wanita dianggap sebagai sumber fitnah dan birahi para kaum pria, bahkan dianggap fitrah atau sudah menjadi kodratnya. Dikatakan bahwa barang siapa yang menyangkal kebenaran ini, bukan hanya bodoh, akan tetapi adalah hipokrit dan menipu diri sendiri. Akan juga berimplikasi negative ketika dikatakan bahwa akal wanita tidak seperti akal pria, menjadikan wanita menjadi pasif. Ini berkelanjutan kepada kehidupannya yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk pasif, akan Nampak dalam kehidupan berkeluarga karena kepasifan dari seseorang wanita yang dimiliki, dikuasai. Sekalipun jatuh cinta, misalnya, wanita tidak pernah mengungkapkan perasaannya. Dia hanya dipacari, kemudian disunting atau dipinang dan diperistri. Setelah diperistri, secara otomatis dia masuk dalam wilayah kekuasaan suami. Dia tidak lagi disebut si Anu, Sri, Siti, tetapi nyonya si A. setelah bergelar nyonya, dia harus melayani suaminya, mengatur rumah tangga. Bila dia cerai maka disebutlah janda, sedang suami jarang bergelar duda, dan seterusnya.
Perbedaan gender ini, mengakibatkan lahirnya sifat dan stereotype yang dianggap oleh masyarakat sebagai ketentuan kodrati atau ketentuan Tuhan. Sifat dan stereotype yang dilekatkan pada kaum hawa atau wanita yang sebenarnya hanyalah rekayasa social sebagai teori nature atau biasa di sebut dengan social contruction, akibatnya terkukuhkan menjadi kodrat cultural yang dalam proses berabad-abad telah mengakibatkan terpinggirnya posisi kaum perempuan.
B. Misoginis
Misoginis seperti kebanyakan istilah ilmiah yang lainnya (seperti feminis, humanis, liberalis dan lain-lain) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Oleh karena itu, untuk mengetahui definisi istilah tersebut kita harus merujuk ke dalam kamus bahasa aslinya. Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap wanita”. Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”. Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan, seperti yang terdapat dalam beberapa teks hadis di atas.
Klaim adanya unsur misoginis dalam Hadits dipopulerkan oleh Fatima Merniss dalam bukunya Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry untuk menunjukkan Hadits-hadits yang dianggap membenci dan merendahkan derjat perempuan. Kajian hadis misoginis menjadi topik yang selalu hangat dibahas dewasa ini, seiring dengan pembahasan kesetaraan gender dan hak-hak asasi manusia dalam pelbagai aspek kehidupan yang berimbas pula pada pembahasan agama. Banyak hadis yang dianggap misoginis oleh kalangan feminis terutama hadis yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, tetapi penulis hanya akan mengulas yang paling sering diklaim tidak sejalan dengan prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia.
BAB III
Pandangan Islam
Terhadap Perempuan dalam Lintas Budaya

Akhir-akhir ini kajian keIslaman semakin menarik dan banyak bermunculan seiring dengan kehadiran wacana gender dalam studi Islam. Diskursus tersebut merupakan suatu keharusan karena merupakan tuntutan kemanusiaan atas berbagai kebutuhan kehidupan keseharian-nya. Dalam masalah keagamaan hal yang demikian untuk dapat lebih membumikan pesan-pesan yang ada di dalam dasar idealnya (al- Qur’an dan hadis). Perbedaan gender bukan merupakan suatu masalah yang serius manakala tidak menimbulkan berbagai persoalan seperti ke-senjangan keadilan. Namun, pada kenyataannya adanya perbedaan gender acapkali menyebabkan adanya persoalan ketidakadilan baik di pihak laki-laki sendiri dan bahkan juga kebanyakan terjadi terhadap perempuan.
Dalam hal ini, gender merupakan sebuah persoalan sosial budaya yang tentunya tidak semua orang mampu dengan jernih memahami adanya ketidakadilan gender. Persoalan tersebut akan semakin rumit manakala terkait erat dengan doktrin ajaran agama. Untuk memahami sejauh mana ada tidaknya kesenjangan gender, menurut Mansour Fakih paling tidak dapat dilihat dalam bidang: Marginalisasi perempuan, Subordinasi, Streotipe, Kekerasan dan Beban kerja yang berlebihan.
Piranti-piranti dalam melihat adanya ketidakadilan gender di atas dijadikan pedoman dalam menelaah teks-teks ajaran agama. Tujuan tidak lain adalah untuk kemaslahatan umat manusia atau dalam bahasa al-Syatibi adalah li masalih al-ibad fi daraini. yang dapat terwujud manakala dipenuinya kebutuhan daruri manusia yakni menjaga agama, harta, keturunan, jiwa dan akal. Paradigma tersebut saat ini perlu penyempurnaan karena banyak problem kehidupan kemanusiaan yang lebih urgen termasuk adalah ketidakadilan gender. Persamaan (equality), keadilan, HAM dan menjaga lingkungan hidup sekarang ini merupakan suatu yang qat’i yang harus terwujud bagi kemanusiaan. Adapun sarana untuk mencapai hal tersebut dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Dalam berbagai literatur diungkap tentang bagaimana Islam mengentaskan berbagai ketidakadilan terutama jika dikaitkan dengan persoalan kaum perempuan dari penindasan. Adanya pembatasan poligami dan berbagai ajaran Islam lainnya pada masa lalu merupakan suatu hal yang luar biasa dilakukan oleh Islam yang membedakan dengan agama lainnya. Berbagai ajaran tersebut sukses dapat diakses oleh umat Islam berkat adanya penjelasan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Dari sini dapat dinyatakan bahwa Rasulullah saw merupakan mubayyin atas apa yang terdapat dalam al-Qur’an(expounder of the Qur’an). Jadi jelasnya “Jika hak-hak wanita merupakan masalah bagi sebagian kaum lelaki muslim modern, hal itu bukanlah karena al Qur’an ataupun nabi, bukan pula karena tradisi islam, melainkan semata-mata karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum elit laki-laki”’
Sebagai sebuah agama pembebas dari belenggu jâhiliyyah, Islam dengan al Qur'an-nya datang dengan peran "the Hero". Kehadirannya merupakan sebuah cahaya bagi kaum marginal. Termasuk dalam hal ini adalah perempuan. Di mana, pada saat pra-al Qur'an turun, di mata "binatang rasional-jâhily" perempuan selalu diposisikan second class. Sehingga, ia bak semabako yang dapat diperjual belikan dengan antrian panjang, ibarat sapi betina yang dapat diperah air susunya, lebih tragis lagi, sebuah malapetaka dan penghinaan luar biasa jika dalam sebuah keluarga terlahir bayi perempuan. Sehingga, sangat wajar jika terdapat kebiasaan membunuh bayi perempuan dengan menguburkannya hidup-hidup.

BAB IV
Memahami dan Memaknai Ulang Ayat-ayat dan Hadits
Terhadap Seorang Perempuan Dalam Konteks Kekinian

Al-Qur'an telah mencatat sikap jahiliyah mereka terhadap perempuan dalam Surat An-Nahl ayat 58-59 yang artinya :
"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu."

A. Antara Al Quran dengan Misoginis
Kecenderungan yang secara tentatif disebutkan boleh jadi hanya sebagai pengesahan atas ideologi patriarkal yang dijastifikasi oleh interpretasi ayat-ayat dan hadits yang dibaca secara harfiah, naratif dan legislatik. Apakah cara pandang seperti ini tidak mereduksi semangat Al quran yang simbolistik dan egalitarian ? Bagaimana sebenarnya Al quran menempatkan wanita dalam Islam ?
i. Kejadian Wanita
يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Secara harfiah ketika kita membaca sebuah ayat dalam kajian teks ada pesan yang sedikit mempengaruhi pola pikir bahwa sesungguhnya memang Islam atau al Quran dalam hal ini telah mendeskriminasikan seorang perempuan, namun dengan melihat beberapa konteks ayat yang lain maka akan sangat jelas kepedulian al Quran dan Islam itu kepada seorang perempuan. Adapun pesan utama dalam proses penciptaan manusia (perempuan) tentang tulang rusuk menurut hemat penulis adalah bagaimana seharusnya dan sebaiknya para suami memperlakukan istrinya, terutama metode memperbaiki kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan oleh istri. Apabila ingin meluruskan kesalahan-kesalahan, luruskanlah dengan bijaksana, jangan dengan kasar dan keras sehingga mengakibatkan perceraian, atau jangan pula dibiarkan saja isteri bersalah. Kemudian Rasulullah memanfaatkan penciptaan perempuan (Hawa) dari tulang rusuk yang bengkok untuk menjelaskan bahwa betapa laki-laki (suami) harus hati-hati dan bijaksana meluruskan kesalahan-kesalahan perempuan. Karena meluruskan kesalahan perempuan ibarat meluruskan tulang yang bengkok, kalau tidak hati-hati dan bijaksana bisa menyebabkan tulang itu patah. Dengan demikian hadits ini justeru mengakui kepribadian dan eksistensi wanita. Sementara itu semangat hadits dan al Quran satu sama lain tidak akan mungkin terjadi pertentangan dan kesalahan, hanya saja kita perlu mengetahui hakikat yang sangat luas dari Islam itu sendiri.
Menurut Ibnu Hajar, mulut perempuan ibarat bagian atas tulang rusuk yang paling bengkok. Kalau suami tidak pandai-pandai menghadapi mulut isteri, tentu bisa menyebabkan perceraian. Dalam Fathul Bari juga ada riwayat lain yang secara eksplisit menyatakan bahwa yang dimaksud dengan patahnya tulang itu adalah perceraian. Jadi hadits tentang perempuan diciptakan dari tulang rusuk sama sekali tidak mengandung unsur misoginik, sekalipun diciptakan secara berbeda, tetapi esensi kemanusiaan masing-masing tidak berbeda.
ii. Poligami
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Ketika surat an-Nisa ayat 3 ini berbicara tentang poligami dengan persyaratan agar lelaki berlaku adil, pesan inti yang dikemukakannya sebenarnya adalah keadilan, bukan semata-mata pembatasan jumlahwanita yang boleh dikawini lelaki. Dalam konteks tanah Arab masa itu, dimana lazim bagi lelaki untuk mempunyai isteri puluhan bahkan ratusan, maka pengurangan drastis menjadi hanya empat menunjukkan satu perubahan kearah yang lebih adil. Ini berarti ayat tersebut secara psikososial mendeskripsikan pembelaan hak-hak kaum wanita untuk tidak diperlakukan seacar sewenang-wenang oleh kaum lelaki. Pada zaman sekarang ini tuntutan keadilan berpoligami tidak lagi bersifat kuantitatif seperti pada masa turunnya ayat tersebut tetapi bersifat kualitatif. Artinya tuntutan keadilanitu tidak mesti disyarati dengan banyak isteri tetapi satu isteri pun tetap harus berbuat adil.
iii. Warisan
للرجال نصيب مما ترك الوالدان والأقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والأقربون مما قل منه أو كثر نصيبا مفروضا
Berbicara tentang ketentuan waris untuk anak laki-laki dan wanita. Konteks masa itu tidak memungkinkan adanya kesamaan hak antara lelaki dan wanita, karena wanita pada saat itu tidak mendapatkan warisan tetapi diwariskan, dan al Quran mengubahnya dengan memberikan separuh jumlah yang diterima laki-laki. Sekarang konteksnya sudah berbeda maka sebenarnya bukan menutup sebuah kemungkinan bahwa bahagian lelaki sama dengan bahagian perempuan tentunya bukan dengan jalan waris namun dengan sebuah perjanjian/kesepakatan dan wasiat. Hal ini bisa terjadi karena kenyataan bahwa seorang perempuan juga sudah mempunyai peran untuk mencari tambahan penghasilan seorang suami bahkan terkadang penghasilan isteri lebih banyak dari sang suami. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi sehingga kenapa kemudian hukum Islam memberikan bahagiannya lelaki setara dengan dua kali bahagian perempuan, alasan itu adalah karena dalam sebuah hukum yang telah ditetapkan dalam kajian syariat bahwa sebuah kewajiban lelaki yang membuat ia mau tidak mau, suka tidak suka harus tetap bekerja untuk sebuah keberlangsungan hidupnya sendiri dan orang yang menjadi keluarganya yaitu lelaki mempunyai kewajibann untuk menafkahi keluarga, membayar zakat fithrah bagi orang yang dinafkahinya.
Demikianlah posisi perempuan dalam masyarakat sebelum Islam. Ketika datang, Islam memuliakan, menjaga, dan memberi perempuan hak-hak yang tidak dinikmati sebelumnya. Allah mengakui hak sosial dan ekonomi perempuan serta memerintahkan mereka untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar seperti halnya laki-laki. Allah berfirman dalam Surat at-Taubah ayat 71 yang artinya :
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar."
Begitulah kiranya beragam macam ayat yang terkandung di dalam Al Quran yang kajiannya tentunya tidak hanya sebatas teoriti tekstualis tapi lebih mengedepankan peran dan fungsi ayat pada masa diturunkan itu untuk siapa, dalam kondisi yang bagaiman dan spirit yang bisa kita tangkap apa, sehingga esensi sebuah agama itu melampaui zaman dan berkembang sesuai dengan perputaran roda zaman.
B. Memahami Hadits Memenuhi Relasi Gender
Di dalam kitab-kitab hadis juga dapat ditemukan beberap hadis yang notabene-nya menyandang gelar sebagai salah satu sumber hukum Islam, tapi secara zahir telah merendahkan derajat perempuan, seperti sabda Rasul saw: “Tidaklah aku tinggalkan setelahku bagi laki-laki fitnah yang lebih bahaya dari perempuan ”[1]“Sebesar-besarnya bala tentara setan adalah wanita, marah ”[2]“Sesungguhnya perempuan imannya, akalnya adalah kurang ”[3]“Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah ”[4]” Semua itu dijadikan senjata oleh para musuh Islam untuk menyerang Islam. Lantas, apakah doktrin-doktrin agama tersebut menunjukkan adanya perbedaan substansi perempuan sebagaimana yang dipahami oleh orang awam? Kalau memang mempunyai maksud yang lain, lantas bagaimana kita menginterpretasi hadis-hadis tersebut? Apakah dengan metode tertentu makna yang lebih dalam dari teks tersebut dapat dipahami?.
Munculnya interpretasi bahwa Islam membenci dan merendahkan wanita ibarat sebuah penyakit kronis dan menahun dalam sejarah kehidupan manusia, yang tidak hanya dialami Islam tapi juga menimpa sekte, agama dan aliran kepercayaan lainnya. Jika kita analisa pokok permasalahannya, maka akan kita dapati bahwa sebenarnya pemahaman ini muncul dikarenakan penafsiran secara dangkal terhadap sebuah doktrin agama dan sekte. Misalkan saja Islam, maka kita pun akan mengambil secara sepenggal baik dari hadis ataupun al-Qur’an lantas menisbahkan kepada Islam dengan mengatakan, “Seperti inilah perempuan dalam prespektif Islam”. Untuk tidak salah dalam menginterpretasikan teks baiknya kita lihat matan dibawah ini.
i. Hadis tentang Rasulullah saw akan menyuruh wanita sujud pada suaminya jika dibolehkan sujud pada selain Allah
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها
Artinya: Dari Abi Hurairah: Nabi saw berkata: jikalau aku emerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, maka aku akan menyuruh istri untuk sujud kepada suaminya.
Fatima Mernissi dalam buku Setara di Hadapan Allah (terj) mengkritik dan menolak matan hadis ini, karena menurutnya Islam sebagai agama monoteis tidak membenarkan seseorang menyembah sesuatu selain Allah.
Kajian Sanad Hadis
Hadis ini diriwayatkan dari banyak sahabat yaitu Abu Hurairah, Qays bin Sa’d, Anas bin Malik, Muaz bin Jabal, Abdullah bin Abi Awfa, Aisyah. Meskipun tidak ada riwayat yang sahih, tetapi minimal terdapat riwayat hasan, yaitu riwayat dari Abu Hurairah di atas. Al-Syaukani mengungkapkan dalam kitabnya Naylu′l Awtar bahwa sebagian riwayat menjadi syahid terhadap riwayat lain sehingga semuanya saling menguatkan satu sama lain. Kesimpulannya, hadis ini dapat diterima, kecuali beberapa kalimat dalam matan hadis-hadis tersebut yang ditolak oleh para ulama.
Kajian Matan Hadis
Latar belakang munculnya hadis ini adalah ketika Mu′az bin Jabal kembali ke Madinah dari Syam, dia langsung sujud kepada Rasulullah saw karena dia melihat kaum Yahudi dan Nasrani di Syam sujud kepada rabi-rabi dan uskup-uskup serta pastor-pastor mereka, dia berfikir bahwa Rasulullah saw lebih berhak untuk mendapatkan penghormatan dengan bersujud kepada beliau, sehingga Rasulullah mensabdakan hadis ini. Lantas, benarkah matan hadis ini mengandung unsur penghambaan istri kepada suami? Bila dikaji lebih lanjut, sujud dapat diartikan menjadi dua macam, pertama sujud ibadah yang hanya boleh ditujukan pada Allah, dan kedua sujud sebagai penghormatan yang diperbolehkan untuk selain Allah, sebagaimana malaikat sujud dengan tunduk dan tawadu’ menghormati Adam as sebagai imam karena dia adalah khalifah Allah. Sujud penghormatan juga dilakukan di masa Nabi Yusuf as:
Artinya: Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana, dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf dan Yusuf berkata: "Wahai ayahku inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku Telah menjadikannya suatu kenyataan…
Akan tetapi hal ini tidak berlaku bagi seorang istri dalam melaksanakan hak suaminya karena sujud kepada manusia tidak diperbolehkan. Secara eksplisit hal ini dapat dilihat dari ungkapan Rasulullah dengan memakai kata “law” atau “jika”, sehingga makna sujud disini bukanlah bermaksud perintah, melainkan hanya sekedar perumpamaan atau pengandaian yang sekaligus mengindikasikan betapa besarnya kewajiban istri dalam menunaikan hak suaminya.

ii. Hadis tentang istri dilaknat malaikat jika tidak memenuhi panggilan suami ke tempat tidur.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح
Artinya: Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: Jika suami mengajak istrinya ke tempat tidur lalu istri enggan mendatanginya kemudian ia tidur dalam keadaan marah, maka istri dilaknat oleh malaikat hingga pagi hari.
Masdar F Mas’udi menyatakan meskipun hadis ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim, tapi tidak dapat diterima begitu saja karena Rasulullah saw tidak mungkin mensabdakan ketidakadilan suami terhadap istri. Kritik senada diungkapkan Siti Musdah Mulia bahwa pemahaman tekstual terhadap Hadits tersebut akan menimbulkan kesan yang kuat tentang ketinggian derjat lelaki atas perempuan, bahkan menjadi alat legitimasi bagi lelaki untuk memaksa dan mengeksploitasi perempuan dalam hubungan seksual. Menurutnya, jika penolakan dikarenakan kondisi istri sedang tidak sehat atau tidak bergairah atau karena suami mengajak dengan kasar dan tidak manusiawi, maka seharusnya suamilah yang mendapat laknat malaikat karena dia dianggap melakukan nusyuz terhadap istri. Zaitunah Subhan juga berpendapat serupa, bahwa laknat malaikat tidak bisa disimpulkan mutlak menimpa istri yang tidak memenuhi ajakan suaminya saja, tetapi juga berlaku bagi suami, karena Islam mengakui keberadaan perempuan sebagai individu independen yang juga mempunyai hak yang dapat dituntut.
Kajian Sanad Hadis
Walaupun hanya diriwayatkan dari Abu Hurairah saja, tetapi dari lima riwayat yang ada, tiga di antaranya terdapat dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim, sehingga status hadis ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Hadis riwayat Abu Dawud juga dinyatakan sahih oleh al-Albani.
Kajian matan hadis
Pada hakikatnya dalam matan hadis tidak terdapat kontradiksi apapun dengan ayat al-Quran ataupun Hadits sahih lainnya. Bahkan al-Quran ketika menyebutkan tentang berjimak secara khusus, selalu ditujukan kepada lelaki, antaranya dalam firman Allah:
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka, Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu…
Oleh sebab itu, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam memahami hadis ini -agar tidak terjebak dalam prasangka negatif bahwa hadis ini melecehkan kaum wanita- adalah:
1. Analisis bahasa
Hadis ini mengungkapkan ajakan suami dengan kata: da′a yang berarti ajakan yang baik, sopan, dan bijaksana serta mengetahui keadaan orang yang diajak. Sedangkan penolakan istri terhadap panggilan tersebut diungkapkan dalam kata abat, sama dengan kata yang digunakan al-Quran ketika menyebutkan keengganan iblis untuk sujud kepada Adam. Selain itu dalam matan Hadits pun disebutkan, bahwa laknat malaikat hanya akan berlaku bila penolakan istri membuat suami marah dan kesal. Jadi keengganan istri untuk segera melayani suami yang berakibat laknat malaikat hanyalah jika penolakan dilakukan tanpa alasan syar’i dan logis yang menghalanginya untuk segera melayani suami sehingga suami marah, padahal ia telah meminta dengan baik dan sopan.
2. Perbedaan Fisiologis dan Psikologis lelaki dan wanita
Menurut para ahli Psikologi, hasrat seksual lelaki lebih banyak berkaitan dengan fungsi fisiologisnya, karena lelaki akan mengumpulkan sperma ketika hasrat seksualnya meningkat, sehingga menuntut untuk segera disalurkan. Berbeda dengan perempuan, hasrat seksual mereka lebih banyak bersumber dari kebutuhan psikologisnya untuk memperolehi kehangatan dan cumbu rayu dari orang yang dicintainya.
Ada beberapa fakta ilmiah tentang perbedaan seksual lelaki dan wanita:
1. Gairah seksual wanita berbeda dari waktu ke waktu yang diakibatkan oleh adanya haid yang disertai dengan perubahan hormon secara fisik. Sebaliknya, gairah seksual lelaki bisa terjadi setiap saat dan tidak mengenal waktu.
2. Lelaki mudah sekali terangsang bahkan hanya dengan sekedar memikirkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas seksual meskipun tanpa persiapan sebelumnya. Sedangkan wanita memerlukan rangsangan sebelum melakukan hubungan seksual, sebab ia hanya akan menginginkan seks ketika suasana batinnya dipenuhi cinta, kasih sayang, rayuan dan sentuhan fisik terlebih dahulu.
Jadi, banyaknya nash-nash yang menekankan tentang hak suami dalam hubungan seksual dan menganjurkan istri untuk segera memenuhinya, adalah karena fitrah lelaki itu menuntut, sedangkan wanita adalah pihak yang dituntut. Lelaki sangat cepat merespon rangsangan sesuai dengan sikap hidup dan aktifitasnya. Maka, hendaklah suami bersikap lemah lembut dalam meminta hubungan seksual kepada istri, dan hendaklah istri bersikap kasih sayang dalam memenuhi panggilan suaminya, walaupun sedang sibuk.
Meskipun demikan, Islam tidak meremehkan hak seksual kaum wanita yang sama-sama penting dengan hak lelaki. Salah satu bukti adalah riwayat dari Aun bin Juhaifah dari ayahnya yang menceritakan tentang Ummu Darda yang mengeluhkan suaminya tidak lagi memerlukan dirinya ketika ditanya oleh Salman al-Farisi, sehingga Salman menasehati Abu Darda: “Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, dirimu sendiri juga memiliki hak atas dirimu, dan istrimu memiliki hak atas dirimu. Maka, berikanlah setiap hak kepada pemiliknya” Abu Darda lalu menanyakan pada Rasulullah saw dan beliau bersabda: “Salman benar”.
Banyak kaum intelektual yang mencurahkan diri mereka didalam studi filsafat dan metafisika ketika mereka berpikir dengan akal mereka tentang hukum-hukum Tuhan. Mereka membandingkan dengan pemikiran, kebijaksanaan, dan pemahaman mereka sendiri. Kecerdasan akal (ijtihad) dan penalaran komparatif (qiyas) mereka menyebabkan mereka merasa bahwa kebanyakan kitab suci muncul sebagai lawan keadilan, kebenaran dan kejujuran. Semua ini disebabkan karena kekurangan mereka dalam memahami, kebijaksanaan, dan pengetahuan mereka tentang esensi rahasia hukum Tuhan. Misalnya ketika mereka merefleksikan tentang ukum warisan bahwa seorang laki-laki akan mendapat dua kali lipat bagian dari seorang perempuan, mereka merasa bahwa posisi yang benar perempuan mendapat porsi dua kali lipat dibanding laki-laki. Karena perempuan itu lemah dan tidak punya bakat yang kuat dalam mencari nafkah. Mereka (kaum intelektual) tidak mengetahui dan memahami bahwa aturan yang ditetapkan hukum Tuhan sesungguhnya menuntun mereka pada apa yang mereka bayangkan dan inginkan.
Ketika Tuhan menetapkan bahwa laki-laki akan mendapatkan porsi dua kali lipat dari perempuan, hukum Tuhan juga menetapkan bahwa laki-laki harus memberi mahar kepada perempuan dalam perkawinan. Ini menuntun kepada posisi dimana perempuan mendapat porsi dua kali lipat dari laki-laki. Ummu Salamah, Isteri Nabi Muhammad SAW, pernah mengatakan kepada Nabi, “Saya mendengar Tuhan menyebutkan laki-laki, bukan perempuan.” Dalam konteks inilah, ayat berikut ini diturunkan kepada Nabi:
فاستجاب لهم ربهم أني لا أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى بعضكم من بعض فالذين هاجروا وأخرجوا من ديارهم وأوذوا في سبيلي وقاتلوا وقتلوا لأكفرن عنهم سيئاتهم ولأدخلنهم جنات تجري من تحتها الأنهار ثوابا من عند الله والله عنده حسن الثواب
Artinya: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."

Begitulah bahwa betapa hukum Tuhan yang kadang tidak mampu dinalar oleh akal pemikiran manusia. Namun sesungguhnya Tuhan sebagai sang khalik pasti akan lebih mengetahui akan ketergantungan dan kebutuhan dari makhluk/hamba yang diciptakannya.

BAB V
PENUTUP


Banyak ayat dalam al Quran yang telah menunjukkan bahwa wanita dan pria adalah sama-sama semartabat sebagai manusia, terutama secara spritual. Begitu juga banyak hadits yang menunjukkan kesamaan harkat wanita dan pria. Walaupun demikian, meskipun al Quran adalah kebenaran abadi, namun penafsirannya tidak bisa dihindari adalah sesuatu yang relatif. Perkembangan historis sebagai mazhab kalam, fiqh dan tasawuf merupakan bukti positif tentang kerelatifan penghayatan keagamaan umat Islam. Pada suatu kurun, kadar intelektualitas menjadi dominan. Pada kurun lainnya, kadar emosionalitas menjadi menonjol. Itulah sebabnya persepsi tentang wanita dikalangan umat Islam sendiri juga berubah-ubah.
Demikianlah halnya perdialogkan budaya, tradisi, politik dan intelektual mempengaruhi posisi wanita ditengah peradaban yang silih berganti disamping memang agama memiliki peran yang sangat pundamen dalam menciptakan keharmonisan dan keberlangsungan sebuah egaliter kemanusiaan, namun sekali lagi menuruh hemat penulis pemahaman agama yang seolah misoginis dalam sebuah ayat dan hadits perlu ditinjau ulang karena misi Allah sebagai pencipta dan pembuat kebijakan yang maha rahman, rahim dan adil lagi bijaksana tidak akan mungkin membuat sebuah kesalahan atau tersalah yang walaupun ia kecil bahkan sesuatu yang tidak pernah terpikir dan terdetik dalam pikiran manusia pun melintasi ruang dan waktu untuk segala kondisi yakni rahmat bagi sekalian semesta ini, akan tetapi kegeniusannya Allah SWT terkadang belum mampu ditangkap pesannya oleh manusia sehingga interpretasi yang multi banyak dipengaruhi oleh kepentingan.
Oleh karena itu adalah yang paling mendasar menurut hemat penulis adalah bahwa ketika kita mendengar dan menjumpai secarik tulisan yang tidak proposional dan syarat dengan kepentingan jauh dari obyektifitas maka kita harus kritis untuk menterjemahkan maksud dari wacana yang terus dikembangkan tersebut.

Daftar Pustaka
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuaan, LkiS, Yogyakarta, Januari 2003, hal 260. Dikutip dari Ikhwanush Shafa, tt, Bombay
Draf disertasi yang telah disampaikan oleh Mohammad Damami dalam sidang terbuka ujian promosi Doktor pada tanggal 1 Pebruari 2010, dengan judul disertasi “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Periode 1973-1983 “Sebuah Sumbangan Pemahaman Tentang Proses Legalisasi Konstitusional dalam konteks Keberagamaan di Indonesia”, hal 7, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kharis Nugroho, http://formmit.org/muslimah-corner/304-tafsir-misoginis-dan-keotentikan-hadits-tafsir-perempuan.html
Fatimah Mernisi, Wanita di Dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Pustaka, Bandung, 1994 M
Morteza Mutahharri, The Right of Women in Islam, Terj. M. Hashem, Wanita dan Hak-haknya dalam Islam, Pustaka, Bandung, 1985
Siti Ruhaini, dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, PSW UIN Sunan Kalijaga, Mc Gill-ICHIEP dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Maret 2002
Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian; Studi Bias Gender dalam Studi al-Quran, Yogyakarta: LKiS, 1999
Suparman Syukur, dkk, Bias Jender dalam Pemahaman Islam, IAIN Wali Songo dan Gama Media, Yogyakarta, Maret 2002
Syukur Kholil, Feminisme dan Hegemoni sistem Patriarkhi Metodologi Penelitian Al Quran dan Hadits Perspektif Gender, Sumber Ilmu, Semarang, 2006
Umar Sulaiman, Al Mar’atu Baina Duatil Islam Ad’iyaatut At-Taqaddun, Terj. Rohmat Basuki, Muslimah Dikepung Sekularisasi, Pustaka Mantiq, Solo, Cet II, September 1994

Religiositas Aparat Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal Dalam Mewujudkan Madina Yang Madani

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Setelah melalui proses yang sangat panjang lebih kurang sepuluh tahun Kabupaten Mandailing-Natal terbentuk berikut pemekaran wilayah Propinsi Sumatera Utara pada tahun 1999. Dalam rangka untuk memacu pembangunan Propinsi Sumatera Utara terutama wilayah pantai Barat, penataan ulang melalui pemekaran wilayah dilakukan dengan harapan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat dapat ditingkatkan.
Berikut itu kecamatan Natal dan bahagian Mandailing dari Kabupaten Tapanuli Selatan dirangkumkan menjadi Kabupaten Mandailing-Natal, atau kependekannya Madina, dengan moto “Madina Yang Madani”. Madina adalah kependekan dari kata: Makmur, Aman, Damai, Indah, Nyaman dan Asri. Madani melambangkan masyarakat civil (beradab dan bertamadun) yang hidup rukun tenteram dengan jiwa membangun yang tinggi dan terbuka menerima perubahan.
Membangun Madina yang Madani, seperti tertera dalam lambang daerah, jelas sejak lama menjadi dambaan masyarakat daerah itu. Persoalannya kini adalah bagaimana obsesi yang begitu indah tersebut akan bisa diwujudkan di lapangan dan dampaknya harus bisa dirasakan masyarakat secara langsung." Pencantuman Madina yang Madani di lambang daerah Kabupaten Madina jelas memiliki konsekuensi besar dan tanggung jawab moral para pelaksana pemerintahan dan pembangunan di daerah ini.
Jika sebagian besar masyarakat Madina masih bias dalam menyikapi kata-kata Madina yang madani, jajaran pemerintah kabupaten Mandailing Natal (Madina) sendiri tampaknya kini harus sudah memiliki strategi dan arah yang jelas dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah ini. Dengan demikian, obsesi dan keinginan itu bisa diharapkan yakni dapat dicapai dalam beberapa tahun ke depan. Adapun nilai-nilai yang sangat urgen dalam membangun masyarakat madani adalah tidak terlepas dari nilai-nilai tauhid (mengesakan Allah) atau dalam khasanah modern dikenal dengan theologi. Sebab nilai tauhid merupakan fundamen atau prinsip dasar dalam membangun manusia yang seutuhnya menurut al quran dan as sunah. Dengan tauhid yang mantap maka manusia dapat membangun diri dan masyarakatnya sesuai dengan fitrahnya.
Dengan nilai tauhid yang yang kokoh membuat orang muslim memiliki kepribadian yang kuat, berdiri disisi kebenaran, membelanya, berjuang dengan jiwa dan hartanya. Dengan dasar inilah kebangkitan akan terwujud, risalah akan menjadi kuat dan keadaan umat menjadi unggul. Keunggulan tauhid dalam Islam sangat menonjol dan nilai ini bersifat universal yang dapat diterima oleh semua kalangan yakni al-adalah (nilai keadilan) al-musawwa (egalitarian/persamaan derajat) dan al-mu’akho (nilai persaudaraan) ketiga nilai nilai-nilai inilah yang dapat membentuk suatu masyarakat menjadi harmonis, toleran dan damai sebab ketiga nilai tersebut bila diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat tidak lagi terjadi perbedaan suku, agama, atau golongan. Bila bersalah dihukum, walaupun ia seorang pejabat Negara demi tegaknya nilai keadilan.
Namun untuk merealisasikan hukum, wujud dari nilai dan dan ajaran sebuah agama tidaklah bisa hanya dipangku oleh seorang pejabat saja, untuk menjadikan suatu daerah atau kota menjadi baik perlu pendekatanholistik. Ia merupakan sebuah rangkaian yang menguatkan satu sama lain. Di Indonesia pada umumnya dan kabupaten Mandailing Natal secara khusus, hakikat dari sebuah proses pembangunan masih sarat oleh prakarsa pemerintah dan aparatnya baik dari segi perencanaan maupun pelaksanaannya, walaupun pemerintah secara formal mengatakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan berbudaya merupakan unsur yang paling penting dalam menciptakan keberhasilan secara Good Governance. Untuk menunjukkan bahwa pemerintah “pro partsipasi rakyat “ dalam proses peradaban dan kebudayaan, maka pemeritahpun telah membentuk berbagai badan, kabag, biro dan instansi terkait untuk menciptakan visi dan misi demi mewujudkan masyarakat yang lebih baik.
Perlu disadari pemimpin dalam hal ini adalah pemerintah diberbagai daerah, ketika telah berhasil mengkondisikan ilmu, iman dan amalnya maka dari perbuatan yang dilakukan baik ketika sendiri dan ditengah keramaian akan tetap melakukan yang terbaik karena nilai-nilai religiusitas yang ada dalam dirinya teraktualisasi sebagai sosio control dan motivasi untuk memberikan yang terbaik demi sebuah pengabdian kepada masyarakat baik di birokrasi pemerintahan, tidak akan ada lagi muncul nafsu kebiadapan seperti suap, sogok, isme (KKN), iri dengki sombong dan segala kibijakan adalah proyek bersama untuk kemaslahatan umat. Begitu juga halnya ditengah keramaian ia akan senantiasa ikhlas, membantu, berderma, saling nasehat sehingga rakyat akan menilai dan menjadikan sebagai cermin kehidupannya. Oleh karena itu berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut bagaimana pengaruh nilai-nilai religiusitas yang teraktualisasi dalam kehidupan untuk membangun keharmonisan, kesejahteraan dan keadilan dengan mengangkatnya menjadi sebuah karya ilmiah atau skripsi dengan memilih judul “ReligiusitasAparat Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dalam Mewujudkan Madina yang Madani”.
Secara umum masyarakat Madani dapat dipahami sebagai suatu masyarakat yang berdasarkan kepada keadilan dan ihsan serta perjuangan memberantas kezaliman membangun ekonomi dan memperkaya budaya, didukung oleh kebebesan dan kekuatan moral, mengangkat martabat insan, menyebarkan kebajikan dan membasmi kerusakan ditengah-tengah masyarakat sebagai representatif dari kota beradab dan berbudaya yang dibangun oleh Rasulullah SAW dengan berpedomankan piagam Madinah, didalamnya umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan antara lain kepada wawasan kebebasan, dibidang agama, ekonomi dan tanggung jawab politik. Demikianlah nabi SAW membangun masyarakat berpedoman selama sepuluh tahun di Madinah. Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat yang adil, terbuka dan demokratis dengan berlandaskan Takwa kepada Allah SWT yang taat kepada ajarannya. Takwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan yang maha esa yang dalam peristilahan al quran juga disebut semangat Rabbaniyah, sebagaimana Firman-Nya dalam Q.S Ali Imran/3.79
Artinya : Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.

Dalam ayat lain ada disebutkan dengan istilah Ribbiyan atau Ribbiyah (lihat Q.S. Ali Imran/3:146) hal inilah yang dinamakan dengan hablun minallah, tali hubungan dengan yang maha kuasa, dimensi pertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista.
Semangat Rabbaniyah atau Rubbiyah itu cukup luas dan sejati, akan memancarkan dalam semangat prikemanusiaan, yaitu semangat Insaniyyah atau Basariyyah, dimensi horizontal hidup manuisa atau dalam istilah al quran hablun min al- nas kemudian pada urutannya semangat prikemanuisaan itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan sesama manusia yang penuh budi luhur.
Dengan demikian, masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia, itulah masyarakat yang berpedoman, masyarakat Madani. Menurut Fahami Huwaydi, pemikiran masyarakat Madani, “bertujuan untuk menolak kesewenang-wenang kekuasaan elit yang mendominasi kekuasaan, berdasarkan pernyataan ini, maka masyarakat Madani adalah masyarakat yang selalu memakai sikap dan prinsip keadilan dalam pergaulan antara masyarakatnya dengan perkataan lain masyarakat yang tidak melakukan kezaliman antara sesamanya, masyarakat yang benar-benar memiliki perdaban yang tinggi sesuai dengan tuntunannya.
Dari uraian diatas maka cukup jelas dari sebuah cita luhur pemerintah kabupaten Mandailing Natal yang bermottokan “Madina yang Madani” mempunyai sebuah harapan yang sama, dimana pada akhirya kabupaten Mandailing Natal pada era modern dapat memberikan pelayanan terbaik, terciptanya kondisi yang Makmur, Aman, Damai, Indah, Asri (MADINA) sehingga menyejukkan bagi orang yang bermukim dan bahkan bagi orang yang sekedar singgah. Namun kita harus sadari bahwa sesungguhnya perlu penelitian secara mendalam untuk melihat secara lebih dekat apakah motto yang lumayan indah dan penuh wibawa itu dapat berjalan manakala religiusitas pemimpin telah hilang dari fitrahnya atau sebaliknya kemakmuran itu akan terwujud ketika agama tidak terlepas dari hatinya (pemimpin). Kalau di dalam Islam shalat saja mempunyai imam yang akan jadi pemimpin begitu juga dalam musafir harus diangkat amir sebagai penuntun maka demikian halnya masyarakat harus dipimpin oleh orang-orang yang diyakini kapasitasnya tentunya sebagai muslim negarawan, karena pemimpin adalah sebagai penentu kebijakan yang darinya nanti akan lahir masa depan orang yang akan dipimpinnya.
C. RUMUSAN MASALAH
Dari penjelasan yang telah penulis kemukakan di atas, terlihat bahwa keinginan yang kuat dan kebaikan yang nyata untuk menuju perubahan sesuai cita luhur masyarakat Mandailing Natal tetapi sejatinya seperti mata rantai tidak bisa dipisahkan satu sama lain antara pemerintah dan masyarakat akan tetapi bahwa peran pemerintah adalah sebuah penopang yang menentukan baik dan mundurnya peradaban dan keluhuran Mandailing Natal tidak bisa dipungkiri sama sekali. Ketika jajaran pemerintah setempat mampu melahirkan kesalehan sosial maka disegala lini akan memberikan sebuah warna tersendiri sehingga nyata terwujudnya Madina yang Madani dan harapannya kegigihan dan kesucian niat yang terbangun tidak melekat pada lambang dan ceremonial saja .
Dengan ini maka kita dapat menentukan masalah-masalah yang timbul dan akan ditelusuri pada permasalahan ini antara lain ;
1. Apakah ada hubungan antara religiusitas dengan semangat kerja untuk mewujudkan Madina yan Madani.
2. Bagaimana konsep religiusitas Pemkab Madina dalam mewujudkan Madina yang Madani.
3. Sejauh apa peran pemerintah dalam mengayomi masyarakat menuju kota beradab dan berbudaya.
4. Bagaimana hubungan dan peran strategis keduanya; antara pemerintah kabupaten Madina dengan masyarakat menuju Madina yang Madani.
5. Apa yang menjadi sebuah dasar (pundamen) dan keutamaan dalam membentuk Madina yang Madani pada era Modern.
6. Bagaimana penerapan dan evalauasi keagamaan yang dilakukan demi menjembatani masyarakat Madani.
D. BATASAN ISTILAH.
Agar terhindar dari kesalahan menginterpretasikan terhadap judul penelitian ini, maka penulis akan memberikan batasan-batasan terhadap istilah penting dari judul penelitian ini. Kata-kata yang akan dibahas antara lain sebagai berikut :
1. Religiusitas
Religiusitas adalah penghayatan agama seseorang yang menyangkut simbol, keyakinan, nilai dan perilaku yang didorong oleh kekuatan spiritual. keadaan dalam diri seseorang dalam merasakan dan mengakui adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia dengan cara melaksanakan semua perintah Tuhan dan meninggalkan seluruh larangan-Nya, sehingga hal ini akan membawa ketenangan dan ketentraman pada diri, suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.
2. Aparat
Badan, instansi, alat negara, pegawai negeri, pelayan masyarakat, alat kelengkapan negara, bagian dari suatu alat yang melakukan fungsi khusus. dan untuk menyamakan persepsi/pemahaman maka disini penulis membatasi dengan pegawai kantor bupati Mandailing Natal (Eksekutif)
3. Pemerintah
Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu.
4. Kabupaten
5. Kabupaten adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang bupati. Selain kabupaten, pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kota. Secara umum, baik kabupaten dan kota memiliki wewenang yang sama. Kabupaten bukanlah bawahan dari provinsi, karena itu bupati atau walikota tidak bertanggung jawab kepada gubernur. Kabupaten maupun kota merupakan daerah otonom yang diberi wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri.
6. Mandailing Natal (MADINA)
Nama dari salah satu kabupaten yang ada di Indonesia.
Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999.
Kabupaten Mandailing Natal terletak berbatasan dengan Sumatera Barat, bagian paling selatan dari Propinsi Sumatera Utara. Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis:
- Masyarakat etnis Mandailing
- Masyarakat etnis Pesisir
7. Mewujudkan
Berasal dari kata wujud mempunyai arti sebuah impian, harapan, membangun, keinginan kuat dan usaha untuk melakukan sesuatu.
8. Madina yang Madani
Madina yaitu singkatan atau akronim dari mandailing natal yang merupakan wilayah/adat kabupaten daerah tingkat II Mandailing Natal.
Madani yaitu masyarakatat yang hidup rukun, tentram, cukup sosial dan mermpunyai jiwa membangun yang cukup tinggi serta terbuka menerima perubahan.
Madina adalah kependekan dari kaka makmur, aman, damai, indah, nyaman dan asri.
E. FOKUS MASALAH
Yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana religiusitas aparat Pemerintah kabupaten mandailing Natal (Madina) dalam mewujudkan MADINA yang MADANI
F. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain :
 Megetahui sejauh apa perjalanan religiusitas yang dilakukan pemerintahan kabupaten Mandailing Natal
 Mengetahui bagaimana bentuk dan wujud religiusitas pemerintahan kabupaten Mandailing Natal.
 Mengetahui bentuk dukungan pejabat pemerintahan dalam rangka membangun moral dan mental keagamaan pemerintahan kabupaten Mandailing Natal.
 Mengetahui dan menganalisisa hambatan dalam menumbuh kembangkan nilai-nilai religiusitas dilingkungan pemerintahan kabupaten Mandailing Natal
 Mengetahui respon masyarakat terhadap kegiatan keagamaan di Mandailing Natal
 Bentuk dan dukungan Masyarakat terhadap pemerintah.
 Pengaruh keagamaan dalam membentuk masyarakat Madina yang Madani.
Meski demikian tujuan yang paling utama dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dan referensi keilmuan para pembaca dan terutama menambah referensi keilmuan penulis sendiri.
Kegunaan Penelitian :
- Penelitian ini bertujuan untuk menambah khasanah pemikiran dan sebagai bahan masukan bagi kabupaten Mandailing Natal
- Sebagai bahan perbandingan bagi kabupaten Mandailing Natal
- Sebagai bahan Perbandingan bagi kabupaten/kota lain untuk mewujudkan kota religius, madani dan berbudaya.
- Sebagai persyaratan untuk mengakhiri pendidikan di Perguruan Tinggi
- Menambah literatur Pustaka IAIN Sumatera Utara.
G. METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitia kualitatif , karena titik focus penelitian adalah observasi dan suasana alamiah (Naturalistic Setting). Dikatakan natural karena pelaksaan penelitian memang terjadi secara alamiah, apa adanya dalam situasi normal yang tidak di manipulasi keadaan dan kondisinya, singkatnya menekankan pada deskripsi secara alami.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif yang dijelaskan Issac dan Michael sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat, yaitu pendekatan yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara factual dan cermat. Pendekatan deskriptif kualitatif juga bertujuan untuk mnedekatkan uraian mendalam tentang ucapan, tulisan dan tingkah laku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok masyarakat maupun organisasi dalam setting tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang konfrehensif.
Dalam penelitian ini, subjek yang diteliti adalah pemerintah kabupaten Mandailing Natal yang beralamat di jalan
B. Informan Penelitian
Salah satu tradisi terpenting dalam penelitian kulitatif adalah penentuan informan kunci (Key Informan). Penentuan informan sangat penting dilakukan agar data yang dibutuhkan dalam melengkapi hasil penelitian dapat diperoleh secara valid. Sebab itu informan kunci harus diambil dari orang-orang yang dianggap dapat memberikan informasi yang berkaitan lansung dengan obyek yang sedang diteliti. Pengambilan informan kunci dalam penelitian ini dilakukan dengan penggunaan teknik snowball sampling , maksudnya adalah peneliti memilih responden secara berantai dimana hanya informan awal yang ditetapkan dan selanjutnya bergulir secara terus menerus sampai peneliti memperoleh data yang cukup sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka informan kunci dalam penelitian ini terlebih dahulu ditetapkan sebanyak tiga orang yang diambil dari pegawai pemerintahan kabupaten Mandailing Natal, ketiga orang yang dimaksud adalah 1). Kabag Dinas Kesejahteraan Sosial, 2). Kabag Dinas Pendidikan, 3). Bagian Hukum dan Pembangunan
Ketiga orang informan kunci yang telah disebutkan adalah sekaligus sebagai sumber data primer yang diharapkan dapat memberikan data pokok yang menjadi telaah utama dalam penelitian ini selanjutnya data pokok tersebut ditambahi dari data sekunder sebagai pendukung yang bersumber dokumentasi, profil Madina dan yang dianggap relevan dengan topik penelitian, bahan bacaan seperti surat kabar, jurnal, majalah, pernyataan-pernyataan dalam seminar dan buku-buku lainnya.
C. Teknik Pengumpulan Data
Mengingat bahwa jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka pengumpualan data dari lapangan dilakukan secara langsung oleh peneliti. untuk itu penulis melakukan pengumpulan data dari lokasi penelitian dengan tiga macam cara. Yaitu :
1. Wawancara mendalam (Defth Interview) dalam hal ini penulis mengadakan wawancara lansung dengan cara bertatap muka dengan informan penelitian sebagaimana yang telah ditetapkan diatas sampai data-data yang diperlukan terkumpul. Hal-hal yang akan diwawancarai adalah terkait dengan religiusitas aparat pemerintah kabupaten Mandailing Natal dalam mewujudkan Madina yang Madani
2. Opservasi dalam hal ini penulis mengadakan observasi secara langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan nilai etika, norma dan religiusitas yang mereka terapkan dikantor maupun dimasyarakt sekitar mereka.
3. Menyebarkan angket
Dengan membagi-bagikan angket dengan rumusan yang terkait dengan, pengetahuan, pemahaman sikaf, tingkah atau perilaklu yang gselanjutnya akan dianalisis dengan kondisi real yang ada di lapangan.
4. Selain interview dan observasi penulis juga mengumpulkan data dari dokumentasi pemerintah kabupaten Mandailing Natal yang relevan dengan topik penelitian bahan-bahan bacaan seperti surat kabar, jurnal, majalah dan buku-buku.
D. Teknik Analisis Data
Proses analisis data dilakukan secara terus menerus sejak awal hingga berakhirnya penelitian. Agar lebih memudahkan analisis data maka analisis dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagaimana yang telah disampaikan Lexy Moleong, tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut :
1. Menelaah dan mempelajari data yang tersedia dari berbagai sumber, baik data yng bersipat primer maupun sekunder yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.
2. Mereduksi data dengan membuat rangkuman berupa pernyataan-pernyataan yang perlu di olah.
3. Menyusun data dalam satuan-satuan analisis.
4. Memeriksa kembali keabsahan data sehingga data-data yang absah yang akan dimasukkan kedalam hasil penelitian.
5. Mengambil kesimpulan dengan cara induktif abstraktif yaitu kesimpulan yang bertitik tolak dari yang khusus ke umum.
Untuk menjaga keabsahan data atau tingkat validitas dan rehabilitas data yang akan dideskripsikan dipakai teknik triangulasi, yaitu triangulasi dengan sumber dapat dilakukan dengan jalan.
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan seseorang didepan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi.
3. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang, seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan.
4. Membandingkan hasil wawancara dengan isu suatu dokumen yang berkaitan.

H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Guna memudahkan para pembaca sekalian dalam memahami dan menelaah isi skripsi ini maka penulisan skripsi ini menggunakan pembahasan per bab, dimana setiap bab akan ditampilkan sesuai dengan urutan permasalahan yang diperinci lagi kepada sub-sub atau pasal-pasal. Adapun gambaran garis-garis besar skripsi tersebutr adalah :
Pertama,
BAB I. Merupakan pendahuluan yang berisi Latar Belakang Masalah, Kerangka Teori, Rumusan Masalah, Batasan Istilah, Tujuan dan Kegunaan Penlitian, Metodologi Penelitian, Sistematika Pembahasan.
Kedua,
BAB II. Pada bab ini akan dibahas Kajian Pustaka yang didalamnya terangkum bahasan dan pengertian yang sesuai dengan urutan permasalahan dan dibagai kepada sub atau pasal. A. Pemerintah dan Kebijakannya. I. Pemerintah dan kemajuan daerah, II Tanggung jawab moral pemerintah. III. Peran masyarakat sipil, B. Agama dan pembangunan, I. Sejarah agama di Indonesia, II. Sikap keagamaan, III. Fungsi agama, IV. Peran agama dalam kehidupan, a. Peran agama terhadap kondisi psikologik, b. Peran agama terhadap perilaku social, C. Religiusitas, I. Konsep religiusitas, II. Pengaruh religiusitas terhadap kesehatan jiwa dan emosi, III. Kualitas Religiusitas, D. Faktor-Faktor Pendukung Pemerintahan Yang Baik, I. Birokrasi, a. Pentingnya birokrasi, b. Makna birokrasi, c. Etika birokrasi, d. Landasan birokrasi, II. Pencapaian birokrasi yang religius, a. Rekrutment pegawai bebas kkn, b. Suri teladan pimpinan, c. Pembinaan secara kontinue, d. Pengawasan secara optimal, E. Masyarakat Madani, I. Pengertian Masyarakat Madani, II. Ciri – ciri dari masyarakat madani, III. Religiusitas pemerintah dengan perwujudan kota madani
Ketiga
BAB III Pembahasan dalam bab ini adalah meliputi lokasi penelitian, Keadaaan umum kabupaten Mandailing Natal, A. Letak geografis, B. Visi dan Misi kabupaten Mandailing Natal, C. Arti lambang daerah kabupaten Mandailing Natal, D. Sarana dan prasarana, E. Identifikasi bidang usaha potensial, F. Iklim, G. Sarana dan prasarana ekonomi
Keempat
BAB IV Dalam bab ini akan dibahas secara khusus; A. hasil penelitian dan pembahasan. I. Wujud kota Madina yang Madani, II. Pola pembentukan Madina yang Madani, III. Peran Strtegis Pemerintah kabupaten Mandailing Natal dalam Mewujudkan Madina yang Madani, IV. Kesadaran masyarakat Mandailing Natal, B. Religiusitas di wilayah Kabupaten Mandailing Natal, I. Kondisi keberagamaan pemerintah kabupaten Mandailing Natal, II. Usaha untuk menambah pemahaman keagamaan, III. Implementasi/aktualisasi nilai theologi dalam kehidupan sehari-hari, IV Pengaruh nilai Religiusitas dalam kehidupan bermasyarakat.
Kelima
BAB V Dalam bab terakhir ini akan dikaji secara mendalam analis, kesimpulan dan saran.


-------Semoga Dalam Pengembangan Kajian Keilmuan Islam atau dalam Ranah Ilmiah dapat memberikan kontribusi, dan penelitian ini adalah hasil dari analisa dan pengamatan penulis ketika masa kuliah Strata 1. dan Kedepannya akan Membandingkan konsep Negara Demokratis dan Mandiri dari Konteks Keindonesiaan (UUD 1945 dan Pemikiran Al Farabi Melalui Madinah al Fadhilah)...

God, World and The Human Being in Quranic Reason

BAB I
PENDAHULUAN

Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)." Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung hikmah. Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Penyebaran Islam melalui kitab ini merupakan kebutuhan mutlak generasi muslim awal hingga sekarang, kini nabi sudah tidak lagi hadir di tengah-tengah kita untuk ditanya atau dirujuk langsung, sementara Sunnah beliau sudah demikian mengalami perubahan, pengurangan, distorsi, sudah diadaptasi untuk kepentingan selera rendah. karena itu sekarang ini sulit sekali menemukan kebenaran hakiki ditengah simpang siurnya beragam pandangan dan interpretasi. Perlu ada upaya keras untuk mendapatkan pengetahuan tentang kebenaran. Kebenaran bukanlah sesuatu yang siap santap. Harus ada upaya keras untuk mendapatkannya. Untuk itulah kiranya kita harus bisa memahami konteks yang lalu untuk kita jadikan sebuah pegangan dan rahmat dengan menariknya kepada sebuah pemahaman dan konsep yang bersifat universal shalih likulli zaman wa al makan .
Dalam al Quran seperti yang disebutkan diatas memberikan bermacam ragam pendidikan bagi makhluk yang kemudian menjadi dasar untuk keutuhan hidup dan kehidupan memberikan garansi yang layak bagi hamba-hamba yang beriman, didalamnya termaktub tentang bagaimana sesungguhnya konsep Tuhan berdiri atas kekuasaannya, maha atas segalanya dan raja diatas segala raja.
Sungguh indah ilustrasi yang dikemukakan oleh ulama besar dan philosof muslim kontemporer Abdulkarim Alkhatib menyangkut fenomena ketuhanan. Dalam bukunya “Qadiyat Al-Uluihiyah Bainal Falsafah Wad Din”" Dia menulis lebih kurang sperti berikut: “Yang melihat/ Mengenal Tuhan, pada hakekatnya hanya melihat-Nya melalui wujud yang terhampar di bumi serta yang terbentang di langit. Yang demikian itu adalah penglihatan tidak langsung serta memerlukan pandangan hati yang tajam, akal yang cerdas lagi kalbu yang bersih.
Pada zaman Darwin, evolusi merupakan tantangan terhadap pemahaman tradisional ihwal status umat manusia. Sejak saat itu, banyak disiflin ilmiah mengumpulkan berbagai bukti akan kenyataan bahwa manusia merupakan keturunan leluhur pramanusia. Dari biologi molekuler dewasa ini, kita mengetahui bahwa simpanse dan manusia memiliki sekitar 99 persen DNA yang sama, walaupun tentu saja satu persen yang berbeda itu sangatlah penting . Jadi perlu disimpulkan bahwa manusia secara utuh bukanlah kera dan bukan juga bermetamorposis dari kera, karena ini tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Jadi untuk lebih memanusiakan manusia kita akan melihat bagaimana Al quran menggambarkan manusia. Segala upaya manusia disepanjang hidupnya disamping karena kecintaan kepada dirinya sendiri juga dimotivasi oleh kecenderungan esensialnya kepada kesempurnaan dan kebahagiaan, oleh karena al Quran adalah Inspirasi yang akan menjadikan hidup lebih bermakna maka di dalamnya akan kita jumpai sebuah konsep yang juga membicarakan tentang manusia, bentuk penghambaan yang paling manusiawi, sebuah gerbang pencerahan menuju insan yang sempurna “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yg sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yg serendah-rendahnya kecuali orang-orang yg beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yg tiada putus-putusnya”. Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka, Manusia dalam pandangan al-Qur’an bukanlah makhluk anthropomorfisme yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia takwa akan tetapi tidak menutup suatu kemungkinan bahwa penghambaan seorang manusia berubah kepada penghambaan terhadap sesuatu hal selain kepada Tuhan yang menciptakannya.
Maka adapun pokok-pokok permasalahan dalam makalah ini adalah :
1. Seperti apakah Alquran menjadi Inspirasi universal.
2. Bagaimana Al quran memperkenalkan Tuhan sebagai Ilah yang Maha atas segalanya.
3. Apakah Hakikat Penciptaan Manusia.
4. Bagaimanakah Hubungan Manusia dengan Tuhan
Sebagai rumusan masalah sehingga tidak melebar dari pokok permasalahan maka penulis menyampaikan pembahasan secara khusus adalah “ Al Quran tentang Tuhan dan Manusia”.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Universal Al Quran

Di antara ayat-ayat-Nya, Allah Swt berfirman, “Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan hujan itu segala jenis buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Oleh karena itu, janganlah kamu menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”[1] “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari sebagian rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”[2] “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[3]
Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu seringkali pada saat Al-Quran berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun mempelajarinya akan menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung pangkalnya.
Al quran biasa didefinisikan sebagai firman-firman Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril sesuai redaksiNya kepada nabi Muhammad SAW dan diterima oleh umat Islam secara Mutawatir . Al quran adalah sumber ajaran Islam, kitab suci ini seperti disebutkan diatas menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman akan tetapi pemadu gerakan umat Islam. Dari mata rantai sejarah yang tersusun disepanjang kehidupan manusia sudah banyak hal yang dapat teruji dari kebenaran kitab suci ini, mulai dari sistem yang menyangkut kajian sejarah, antropologi, science dan kedokteran yang awalnya ditolak secara mentah oleh mereka yang enggan dengan kebenaran Ilahi.
أفلا يتدبرون القرآن ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا
"Mengapa mereka tidak mendalami Al-Quran, kalau sekiranya itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka dapati banyak pertentangan di dalamnya" (QS. 4 An Nisaa 82).
Tidak dapat disangkal oleh siapapun yang memiliki obyektifitas bahwa kitab suci Al quran memiliki keistimewaan-keistimewaan. Keistimewaan tersebut diakui oleh kawan dan lawan sejak dahulu hingga kini.

B. Al Quran Membicarakan Tuhan

Dalam semua agama Tuhan merupakan personal God atau Tuhan berpribadi, dan karena itu dia masuk dalam ruang dan waktu. Hanya saja, kalau berhenti disitu Tuhan menjadi antropomorfis, menjadi manusia dan itu mengakibatkan syirik dan berseberangan dengan konsep sebuah agama yakni Islam. Dalam agama yang mempercayai eksistensi Tuhan, konsep tentang Tuhan menjadi inti dari seluruh keyakinan, ajaran dan praktiknya. Konsep tentang Tuhan juga memberikan batas-batas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh bagi pemeluk agama yang mempercayai eksistensi Tuhan itu. Tiap agama biasanya memiliki kitab suci berisi ayat-ayat Tuhan. Ayat-ayat tersebut adalah petunjuk dalam mengarungi samudera hayat yang penuh ketidakjelasan. Allah SWT adalah pemilik mutlak segala sesuatu. Dia tidak memiliki sekutu dalam kepemilikan-Nya. Karena itu, dengan sebenar-benarnya tanpa basa-basi, “Dialah yang memiliki kerajaan dan Dialah yang memiliki segala puji, dan kepadan-Nyalah segala urusan dikembalikan” . Alam ini adalah sesuatu yang relatif. Ia butuh terhadap sesuatu yang menjadi sebab kemunculannya, karena eksistensinya tidak terjadi dengan dengan sendirinya, dengan demikian didalam menetapkan eksistensi pertama kita tidak perlu merenungkan sesuatu selain Allah itu sendiri. Didalam pembuktian eksistensi-Nya kita tidak memerlukan satu makhluk-Nya. Meskipun keberadaan makhluk merupakan dalil bagi eksistensi-Nya, namun pembuktian pertama adalah lebh kuat dan lebih agung .
Di dalam al asmaul husna digunakan sifat-sifat yang seolah-olah paradoks: ada Ghafur, Wadud, Rahim, Rahman, dan sebagainya yang semuanya itu sebetulnya meminjam bahasa manusia. Pada saat bersamaan juga disebutkan sifat-sifat Tuhan yang sebaliknya, yaitu, Jabbar, Mutakabbir, Muntaqim, dan sebagainya . Digambarkan demikian, karena kalau Tuhan hanya digambarkan bersifat lunak manusia akan meremehkan Tuhan, dan itu mempunyai efek terhadap melemahnya etika dan moral. Sebaliknya, kalau Tuhan juga dipahami hanya serba keras, juga akan mempengaruhi sikap manusia, sebagaimana dinyatakan dalam psikologi agama . Artinya kita juga akan serbakeras. Orang Islam sekarang ini tampaknya memahami Tuhan sebagai hakim, sehingga tidak heran sikaf orang Islam cenderung menghakimi segala sesuatu atas nama Tuhan . Meskipun Tuhan digambarkan dengan ilustrasi-ilustrasi seperti manusia yang bisa marah, senang, ridha, dan sebagainya, ada juga pernyataan dalam surat al Ikhlas bahwa Dan tidak ada apapun seperti Dia (Q.112:4) selain kitab suci, Tuhan menabur ayat-ayatnya di tiap titik alam semesta. Bagi manusia yang mengunakan akalnya, ayat-ayat Tuhan tersingkap jelas di sekitarnya. Baik dalam diri manusia sendiri maupun isi langit dan bumi. Tentu jumlahnya lebih banyak dari ayat dalam al-Qur’an karena sesungguhnya Tuhan yakni Allah SWT memperkenalkan dirinya sebagai pribadi yang maha atas segala kemahaan alam semesta baik yang physic dan metaphysic.

Konsep ketuhanan berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits

a. Konsep Al Quran

Dalam konsep Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam. Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa. Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul dimana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun Menurut al-Qur'an, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS al-An'am 6:103)
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal. Menurut al-Qur'an, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya. Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama al-Qur'an (Al-'Alaq 96:1-5), Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk diantaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur'an adalah kalam Allah, sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur'an merupakan penuturan Allah tentang diri-Nya .
Selain itu menurut Al-Qur'an sendiri, pengakuan akan Tuhan telah ada dalam diri manusia sejak manusia pertama kali diciptakan (Al-A'raf 7:172). Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur'an menegaskan ini dalam surah Az-Zumar 39:8 dan surah Luqman 31:32.
b. Konsep Hadits
Dengan merujuk pada literatur-luteratur hadis, menjadi jelas bahwa pembahasan sifat Tuhan dalam hadis juga mengikuti langkah al-Quran. Dalam sebuah hadis dari Amirul Mukminin Ali Radhiallahu anhu dikatakan bahwa dalam tafsir ayat 110 surah Thaha, beliau bersabda, “Semua makhluk mustahil meliputi Tuhan dengan ilmu, karena Dia meletakkan tirai di atas mata hati, tak satupun pikiran yang mampu menjangkau dzat-Nya dan tak ada satu hatipun yang bisa menggambarkan batasan-Nya, oleh karena itu, jangan kalian menyifati-Nya kecuali dengan sifat-sifat yang diperkenalkan oleh-Nya, sebagaimana Dia berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” Imam Ali pada awal perkataannya menjelaskan bahwa tak ada satupun makhluk yang meliputi dzat Tuhan. Secara lahiriah, maksud dari “meletakkan tirai pada mata hati” adalah keterbatasan pengenalan makhluk yang menyebabkan ketidakmampuannya meliputi dzat tak terbatas Tuhan. Imam Ali adalam kelanjutan tema ini menegaskan bahwa dalam menyifati Tuhan kita harus mencukupkan diri dengan menggunakan sifat-sifat yang telah Dia perkenalkan kepada kita.
Tuhan yang sejati adalah Tuhan yang kehadirannya sangat dibutuhkan justeru sebagai syarat keberadaan alam semesta. Karena menurut al Syaikh Al Akbar, Ibn Arabi (w. 1240), sedetik saja Ia menarik kehadiran-Nya di dunia ini, niscaya alam akan semesta akan hancur berkeping-keping. Ia lah Tuhan yang kehadiran-Nya sangat jelas, tetapi karena begitu jelasnya sehingga banyak dari kita justeru tidak dapat melihat-Nya. Sang matahari kebenaran begitu cemerlang dan menyilaukan sehingga mata-mata kelelawar tidak mampu menatapnya .
Suatu hari, Rasulullah ditanya oleh para sahabat, Ya Rasulullah, dimanakah Allah itu berada, dilangit atau dibumi?, Rasul menjawab “Allah bersemayam dihati hamba-hambanya yang berIman”. Sebenarnya Tuhan selalu berbicara kepada hamba-Nya setiap saat. Di mata-Nya tidak ada yang baik dan buruk. Semuanya adalah paket kehidupan yang tidak boleh dibuka berbeda. Akan tetapi dimata manusia, dihati manusia, apa yang tidak bisa sesuai dengan keinginannya adalah buruk dan apa yang sesuai dengan keinginannya adalah baik. Sesorang yang telah menemukan sinar-Nya hanya kebaikan atau hal-hal baik yang selalu dilihatnya, bahkan saat musbah datang pun dimatanya Tuhan sedang menyapanya. Kadang-kadang, Tuhan menemui hamba yang dicintai-Nya dengan cara memberi paket kesedihan, paket ketidak nyamanan, paket kekurangan bahkan mungkin paket kesedihan. Lalu Tuhan hanya melihat hamba yang dicinta-Nya mampu atau tidak melewati, memaknai, dan mensyukuri semua paket tersebut .

c. Teori ketuhanan

Paham ketuhanan yang beraneka penjelasan tersebut, berdasarkan teori atau pendekatan yang digunakan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Dalil Logik. Sesuatu yang tidak dapat dilihat atau kesan tidak semestinya tiada. Sekiranya kita tidak dapat melihat atau mengesan nyawa, tidak bererti nyawa itu tidak wujud. Sekiranya cetusan eletrik dalam otak diukur sebagi nyawa, komputer yang mempunyai prinsip yang sama masih tidak dianggap bernyawa.
Dalil Kesempurnaan. Tuhan adalah sempurna dari segala sifat kecacatan , dengan itu mengatakan Tuhan tidak mampu adalah salah, sebagai contoh "Adakah Tuhan itu berkuasa untuk mencipta satu batu yang terlalu berat, yang tidak mampu diangkat oleh dirinya sendiri?" menunjukkan keinginan meletakkan sifat manusia kepada Tuhan. Berat adalah hukum yang dicipta Tuhan, apa yang berat di bumi tidak bererti di angkasa. Berat tidak membawa apa-apa arti di alam ghaib.
Dalil Kosmologikal. Dari segi kosmologi, Tuhan seharusnya wujud sebagai puncak kepada kewujudan alam. Dengan premis "segala sesuatu itu berpuncak", maka adalah tidak masuk akal untuk mengatakan alam ini wujud tanpa mempunyai puncak, yakni Tuhan. Di alam ini semuanya tersusun dengan hukum-hukum yang tertentu dengan ketentuan Tuhan, yang mana dari segi sains pula dikenali sebagai hukum alam.
Dalil Antropofik. Kewujudan manusia dan fitrahnya untuk mengenal tuhan sudah membuktikan kewujudan Tuhan.

C. Manusia dalam Al Quran
Sudah merupakan pengetahuan umum dan baku dikalangan muslim bahwa manusia menurut kitab suci adalah puncak ciptaan Tuhan dan makhluknya yang tertinggi . Ibnu Sina mendefinisikan kesempurnaan manusia sebagai berikut, “Seorang yang memiliki ilmu yang telah sampai pada tingkatan kesucian, sehingga terlepas dari segala pengaruh materi dan keterikatan raganya. Dia berjalan dengan ikhlas ke alam tertinggi malakuti dan merasakan kelezatan-kelezatan yang lebih tinggi .”
Tahapan kejadian manusia :
1) Proses Kejadian Manusia Pertama (Adam)
Di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah dari tanah yang kering kemudian dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah sempurna maka oleh Allah ditiupkan ruh kepadanya maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan oleh Allah di dalam firman-Nya :
"Yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah". (QS. As Sajdah (32) : 7)
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk". (QS. Al Hijr (15) : 26)

Disamping itu Allah juga menjelaskan secara rinci tentang penciptaan manusia pertama itu dalah surat Al Hijr ayat 28 dan 29 . Di dalam sebuah Hadits Rasulullah saw bersabda :
"Sesunguhnya manusia itu berasal dari Adam dan Adam itu (diciptakan) dari tanah". (HR. Bukhari)
2) Proses Kejadian Manusia Kedua (Siti Hawa)
Pada dasarnya segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia ini selalu dalam keadaan berpasang-pasangan. Demikian halnya dengan manusia, Allah berkehendak menciptakan lawan jenisnya untuk dijadikan kawan hidup (isteri). Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam salah sati firman-Nya :
"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" (QS. Yaasiin (36) : 36)

Adapun proses kejadian manusia kedua ini oleh Allah dijelaskan di dalam surat An Nisaa’ ayat 1 yaitu :

"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang sangat banyak..." (QS. An Nisaa’ (4) : 1)

3) Proses Kejadian Manusia Ketiga (semua keturunan Adam dan Hawa)
Kejadian manusia ketiga adalah kejadian semua keturunan Adam dan Hawa kecuali Nabi Isa a.s. Dalam proses ini disamping dapat ditinjau menurut Al Qur’an dan Al Hadits dapat pula ditinjau secara medis. Di dalam Al Qur’an proses kejadian manusia secara biologis dejelaskan secara terperinci melalui firman-Nya :
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kamudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah , Pencipta Yang Paling Baik." (QS. Al Mu’minuun (23) : 12-14).

Kemudian dalam salah satu hadits Rasulullah SAW bersabda :

"Telah bersabda Rasulullah SAW dan dialah yang benar dan dibenarkan. Sesungguhnya seorang diantara kamu dikumpulkannya pembentukannya (kejadiannya) dalam rahim ibunya (embrio) selama empat puluh hari. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan segumpal darah. Kemudian selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan sepotong daging. Kemudian diutuslah beberapa malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya (untuk menuliskan/menetapkan) empat kalimat (macam) : rezekinya, ajal (umurnya), amalnya, dan buruk baik (nasibnya)." (HR. Bukhari-Muslim)

Ungkapan ilmiah dari Al Qur’an dan Hadits 15 abad silam telah menjadi bahan penelitian bagi para ahli biologi untuk memperdalam ilmu tentang organ-organ jasad manusia. Selanjutnya yang dimaksud di dalam Al Qur’an dengan "saripati berasal dari tanah" sebagai substansi dasar kehidupan manusia adalah protein, sari-sari makanan yang kita makan yang semua berasal dan hidup dari tanah. Yang kemudian melalui proses metabolisme yang ada di dalam tubuh diantaranya menghasilkan hormon (sperma), kemudian hasil dari pernikahan (hubungan seksual), maka terjadilah pembauran antara sperma (lelaki) dan ovum (sel telur wanita) di dalam rahim. Kemudian berproses hingga mewujudkan bentuk manusia yang sempurna (seperti dijelaskan dalam ayat diatas).
Dari ungkapan Al Qur’an dan hadits banyak mengilhami para scientist (ilmuwan) sekarang untuk mengetahui perkembangan hidup manusia yang diawali dengan sel tunggal (zygote) yang terbentuk ketika ovum (sel kelamin betina) dibuahi oleh sperma (sel kelamin jantan). Kesemuanya itu belum diketahui oleh Spalanzani sampai dengan eksperimennya pada abad ke-18, demikian pula ide tentang perkembangan yang dihasilkan dari perencanaan genetik dari kromosom zygote belum ditemukan sampai akhir abad ke-19. Tetapi jauh sebelumnya Al Qur’an telah menegaskan dari nutfah Dia (Allah) menciptakannya dan kemudian (hadits menjelaskan bahwa Allah) menentukan sifat-sifat dan nasibnya .
Sebagai bukti yang konkrit di dalam penelitian ilmu genetika (janin) bahwa selama embrio berada di dalam kandungan ada tiga selubung yang menutupinya yaitu dinding abdomen (perut) ibu, dinding uterus (rahim), dan lapisan tipis amichirionic (kegelapan di dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup/membungkus anak dalam rahim). Hal ini ternyata sangat cocok dengan apa yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Qur’an :
"...Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan (kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim)..." (QS. Az Zumar (39) : 6).

Manusia dengan makhluk Allah lainnya sangat berbeda apalagi manusia memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain salah satunya manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk penciptaan namun kemuliaan manusia bukan terletak pada penciptaannya yang baik tetapi tergantung pada apakah dia bisa menjalankan tugas dan peran yang telah digariskan Allah atau tidak bila tidak maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka dengan segala kesengsaraannya . Allah SWT berfirman yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yg sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yg serendah-rendahnya kecuali orang-orang yg beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yg tiada putus-putusnya”.
Al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insaan, an-naas, al-basyar, dan banii Aadam . Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-naws yang berarti gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia. Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan di damaikan. Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali .
Dalam al Quran, manusia berulang-ulang kali diangkat derajatnya, berulang-ulang kali pula direndahkan, mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan para bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama mereka bisa tiak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahannam sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi yang paling rendah dari segala yang rendah. Oleh karena itu makhluk manusia sendiri yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri . Di dalam Al Quran Allah memperingatkan mereka dengan sebuah celaan;
... Manusia sangat benar-benar mengingkari nikmat. (QS. 22:66)
Ketahuilah sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. 96:6-7)
... Adalah manusia bersifat tergesa-gesa. (QS. 17:16)
Apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada kami dalam keadaan berbaring atau berdiri tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu dari padanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. (QS. 10:12)
Ada realitas tunggal di seluruh dunia ini, yaitu pengetahuan tentang diri. Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal pula Tuhan dan segala ciptaan-Nya. Siapa yang tidak punya pengetahuan semacam itu, ia tidak mempunyai pengetahuan apapun. Di dunia ini hanya ada satu kekuatan, satu jenis kemerdekaan dan satu bentuk keadilan yaitu kuasa untuk mengendalikan diri. Siapa yang mampu menguasai dirinya akan mampu menguasai dunia. Hanya ada satu bentuk kebaikan di dunia, yaitu mencintai orang lain sebagimana mencintai dirinya sendiri. Dengan kata lain menghargai orang lain sebagaimana menghargai diri kita sendiri. Diluar itu, yang ada hanyalah ilusi dan kehampaan semata.
(Kritik yang disampaikan oleh Mahatma Gandhi [1869-1948] dalam bukunya my Religion).
a. Fithrah Manusia :
1. Manusia adalah makhluk utama, yaitu diantara semua makhluk natural dan supranatural, manusia mempunyai jiwa bebas dan hakikat hakikat yang mulia.
2. Manusia adalah makhluk yang sadar diri. Ini berarti bahwa ia adalah satu-satuna makhluk hidup yang mempunyai pengetahuan atas kehadirannya sendiri ; ia mampu mempelajari, manganalisis, mengetahui dan menilai dirinya.
3. Manusia adalah makhluk kreatif . Aspek kreatif tingkah lakunya ini memisahkan dirinya secara keseluruhan dari alam, dan menempatkannya di samping Tuhan. Hal ini menyebabkan manusia memiliki kekuatan ajaib-semu quasi-miracolous yang memberinya kemampuan untuk melewati parameter alami dari eksistensi dirinya, memberinya perluasan dan kedalaman eksistensial yang tak terbatas, dan menempatkannya pada suatu posisi untuk menikmati apa yg belum diberikan alam.
4. Manusia adalah makhluk idealis, pemuja yang ideal. Dengan ini berarti ia tidak pernah puas dengan apa yang ada, tetapi berjuang untuk mengubahnya menjadi apa yg seharusnya. Idealisme adalah faktor utama dalam pergerakan dan evolusi manusia. Idealisme tidak memberikan kesempatan untuk puas di dalam pagar-pagar kokoh realita yg ada. Kekuatan inilah yg selalu memaksa manusia untuk merenung, menemukan, menyelidiki, mewujudkan, membuat dan mencipta dalam alam jasmaniah dan ruhaniah.
5. Manusia adalah makhluk moral. Di sinilah timbul pertanyaan penting mengenai nilai. Nilai terdiri dari ikatan yg ada antara manusia dan setiap gejala, perilaku, perbuatan atau dimana suatu motif yg lebih tinggi daripada motif manfaat timbul. Ikatan ini mungkin dapat disebut ikatan suci, karena ia dihormati dan dipuja begitu rupa sehingga orang merasa rela untuk membaktikan atau mengorbankan kehidupan mereka demi ikatan ini .

b. Tujuan Penciptaan Manusia

Allah SWT berfirman dalam surat Ad-dzariyat 56: ”Allah tidak menciptakan manusia kecuali untuk mengabdi kepadanya” mengabdi dalam jalan ibadah dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya seperti tercantum dalam Al-qur’an. Kisah tentang manusia ini bermula dari penciptaan Adam, bapak semua manusia. Di sini saya tidak akan membahas kaitan teori evolusi dengan penciptaan Adam. Teks al Quran hanya menceritakan bahwa adam adalah manusia pertama yang menurunkan manusia-manusia sesudahnya. Ia juga mengisyaratkan Allah telah menciptakan manusia dalam beberapa fase-fase kejadian. Berpedoman kepada QS Al Baqoroh: 30-36, maka peran yang dilakukan adalah sebagai pelaku ajaran Allah dan sekaligus pelopor dalam membudayakan ajaran Allah. Untuk menjadi pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi pelopor pembudayaan ajaran Allah, seseorang dituntut memulai dari diri dan keluarganya, baru setelah itu kepada orang lain.
Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat Allah dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan , wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam. Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya.
Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan memilih dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis, inilah kajian filsafat yang paling menonjol dikalangan sejarah pemikiran Islam . Kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimiliki tidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang. Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hukum-hukum Tuhan baik yang baik yang tertulis dalam kitab suci (al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam QS 35 (Faathir : 39) yang artinya adalah: “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”.
Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai hamba Allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tidak terpisahkan. Kekhalifahan adalah realisasi dari pengabdian kepada Allah yang menciptakannya. Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajat manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah, seperti fiman-Nya dalam QS (at-tiin: 4)

c. Keutamanan Manusia

Ditinjau dari ukuran fisik dan kekuatan lahiriah manusia itu makhluk yang kecil dan lemah. Tetapi dari segi psikis dan potensi internal yang tersimpan dalam dirinya, tak bisa diingkari bahwa manusia adalah makhluk pilihan . Bahkan dari segi tubuhnya yang serba lengkap itu saja telah menjadi miniatur alam raya ini. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh seorang penyair :
“Obatmu ada dalam dirimu, tetapi kamu tidak melihatnya
Penyakitmu ada didalam dirimu tetapi kamu tidak menyadarinya.
Kamu menyangka dirimu materi yang mungil
Padahal di dalam dirimu terangkum alam yang besar”.
Sebagaimana pengakuan agama-agama pada umumnya dan Islam pada khususnya mengenai kemuliaan manusia, al Quran menyebut perihal manusia dalam beratus-ratus ayat. Bahkan sejak dari lima ayat pertama yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, al Quran telah menyebutkan perihal manusia. “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajrakan manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. 96.1-5)
Setelah kita membicarakan secara panjang lebar tentang kelebihan dan keutamaan manusia, maka perlu diketahui bahwa dia merupakan hasil akhir dari proses evolusi penciptaan alam semesta. Manusia adalah makhluk dua dimensi. Disatu pihak terbuat dari tanah (thin) yang menjadikannya makhluk fisik, dipihak lain, ia juga makhluk spritual karena ditiupkan kedalam roh Tuhan. Dengan demikian, manusia menduduki posisi yang unik antara alam semesta dan Tuhan, yang memungkinkan berkomunikasi dengan keduanya.
Sebagai makhluk fisik-biologis, manusia adalah makhluk paling maju dan sempurna, dan merupakan puncak evolusi alam. Sebagai makhluk paling maju secara fisik dan paling rumit dalam strukturnya, manusia mengandung semua unsur yang ada dalam kosmos, mulai dari unsur yang ada dalam dunia mineral (batu-batuan, logam, dan lain-lainnya), dunia tumbuhan dengan kemampuan untuk tumbuh, memamah biak dan berkembang biak, sampai yang ada pada dunia hewan dengan kemampuannya bergerak secara bebas melakukan penyerapan indrawi (sense perception).
Selain itu manusia juga memiliki jiwa rasional yang hanya dimiliki bangsa manusia saja. Jiwa rasional ini memungkinkan manusia mampu mengambil premis-premis rasional yang berguna untuk membimbing, mengatur, dan menguasai daya-daya dari jiwa –jiwa yang lebih rendah. Dengan demikian, manusia merupakan inti dari alam semesta.

D. Antara Manusia Dengan Tuhan

Jika kita mengajukan pertanyaan “apakah yang menjadi perhatian utama dalam kehidupan manusia?” salah satu jawaban yang pasti akan kita terima adalah Kebahagiaan. Mazhab etika hedonis menarik kesimpulan tentang seluruh kehidupan etis dari pengalaman kebahagiaan dan penderitaan yang datang dari berbagai tindakan akan tetapi kita tidak perlu melangkah lebih jauh dengan aliran ini, akan tetapi harus kita akui bahwa kenikmatan yang langgeng adalah ketika bisa merasakan kehadiran Tuhan dan mendapatkan pengalaman spritual yang tidak bisa dihargakan .
Tuhan tidak memerlukan manusia, tetapi justeru manusialah yang membutuhkan kehadiran Tuhan demi kemanusiaannya sendiri. Apresiasi yang sejati terhadap nilai Ketuhanan dengan sendirinya menghasilkan apresiasi sejati terhadap nilai kemanusiaan. Ketuhanan tanpa kemanusiaan dikutuk oleh Tuhan dan kemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah bagaikan fatamorgana . Seluruh ibadah dalam Islam mempunyai tujuan untuk membina hubungan kita dengan Allah, hubungan itu akan menjadi intensif kalau kita menghayati Tuhan melalui nama-nama-Nya atau sifat-sifat-Nya yang baik. Allah kita hadirkan dalam bentuk kualitas-kualitas agar ditransfer kedalam diri kita, sehingga kita akan mengalami pengembangan pribadi yang sempurna. Maka sebetulnya menghayati Tuhan melalui sifat-Nya yang maha kasih itu saja dengan segala pengertiannya yang luas sudah cukup. Diharapkan bahwa kualitas-kualitas seperti itu kemudian ditransfer kedalam diri kita sehingga menjadi bagian dari bahan untuk mengembangkan kepribadian kita. Inilah akhlak Ilahi. Moralitas ketuhanan.
Dari sini kita mengenal istilah yang memperkaya kebudayaan kita sendiri yaitu “manusia seutuhnya”. Manusia akan utuh hanya bila dia mencerminkan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, bila dia memenuhi perintah Allah. Sebaliknya bagi orang yang lupa kepada Tuhan maka dia tidak akan mungkin akan menjadi manusia yang integral, manusia yang utuh. Allah memeperingatkan dalam al Quran “Dan Janganlah seperti mereka yang melupakan Allah, dan Allah akan memebuat mereka lupa akan dirinya sendiri” (Q. 59:19). Artinya kita akan kehilangan makna hidup, kehilangan tujuan hidup dan integritas kepribadian sehingga kita tidak akan mempunyai harapan karena sejatinya kita dapat bertahan hidup adalah karena Allah yang dilukiskan sebagai al Shamad.
Tidak ada satu ibadah pun yang diwajibkan oleh Tuhan melainkan ia menjadi perantara serta cara untuk mensucikan jiwa orang mukmin dan meningkatkan derajat ruhnya. Namun sangat sedikit energi yang dikeluarkan untuk beribadah itu jika dibandingkan dengan kebaikan yang didapatkan dibalik ibadah yang dilakukan tersebut. Dan tidak ada satu perkara pun yang diharamkan oleh agama untuk dikerjakan manusia, melainkan ia menjadi pemelihara bagi akal, jiwa, akhlak, harta, kehormatan dan keturunannya.
Ketika agama mengharamkan sesuatu bagi manusia, secara konsisten ia pasti menyediakan pengganti yang lebih baik yang tak mendatangkan kerusakan sebagaimana yang diharamkan itu. Dengan demikian seorang hamba/manusia tidak akan merugi dengan beribadah kepada Allah dan memelihara diri dari perkara yang diharamkan. Justeru ia akan mendapatkan keberuntungan dan kebaikan serta mampu menguasai hawa nafsu. Dia pun akan mendapatkan bentuk keberuntungan yang lain yakni jiwa yang tenang dan kehidupan yang damai . Berdasarkan analisis atas kesadaran yang baru saja kita suguhkan, kita berhak mengajukan sebuah pertanyaan, jika benar bahwa diri dengan realitas ontologisnya sendiri selalu hadir di dalam Tuhan maka Tuhan pun akan selalu hadir di dalam diri . Hidup ini bukanlah lingkaran tertutup yang tanpa ujung pangkal, ia berpangkal dari sesuatu dan berujung kepada sesuatu yaitu Tuhan pemberi kehidupan.

BAB III
PENUTUP

Al quran biasa didefinisikan sebagai firman-firman Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril sesuai redaksiNya kepada nabi Muhammad SAW dan diterima oleh umat Islam secara Mutawatir. Al quran adalah sumber ajaran Islam, kitab suci ini seperti disebutkan diatas menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman akan tetapi pemadu gerakan umat Islam.
Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal. Menurut al-Qur'an, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang diridhai-Nya. Menurut para mufasir, melalui wahyu pertama al-Qur'an (Al-'Alaq 96:1-5), Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk diantaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur'an adalah kalam Allah, sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur'an merupakan penuturan Allah tentang diri-Nya.
Manusia adalah mahluk Allah yang paling mulia,di dalam Al-qur’an banyak sekali ayat-ayat Allah yang memuliakan manusia dibandingkan dengan mahluk yang lainnya.Dan dengan adanya ciri-ciri dan sifat-sifat utama yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia menjadikannya makhluk yang terpilih diantara lainnya memegang gelar sebagai khalifah di muka bumi untuk dapat meneruskan,melestarikan,dan memanfaatkan segala apa yang telah Allah ciptakan di alam ini dengan sebaik-baiknya.
Tugas utama manusia adalah beribadah kepada Allah SWT.Semua ibadah yang kita lakukan dengan bentuk beraneka ragam itu akan kembali kepada kita dan bukan untuk siapa-siapa.Patuh kepada Allah SWT, menjadi khalifah,melaksanakan ibadah,dan hal-hal lainnya dari hal besar sampai hal kecil yang termasuk ibadah adalah bukan sesuatu yang ringan yang bisa dikerjakan dengan cara bermain-main terlebih apabila seseorang sampai mengingkarinya.

Daftar Pustaka

Achmad Muchaddam Fahham, Tuhan Dalam Filsafat Allamah Thabathaba’i, Teraju, Bandung, Cet I, Juli 2004
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani, PT Raja Grapindo, Jakarta, 1999
Aisyah Abdurrahman, Manusia Sensivitas Hermeneutika Al Quran, LKPSM, Yogyakarta, Januari 1997
Budhy Munawar Rachman, Penyunting, Ensiklopedi Nurchalish Madjid “Pemikiran Islam di Kampas Peradaban”, Mizan, Jakarta, Cet I
http://www.f-adikusumo.staff.ugm.ac.id/artikel/manusia1.html
Ian G. Barbour, Natur, Human Natur, and God, “Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, terj Fransiskus Borgias, Mizan, Bandung, 2005
Ilyas Ismail, HIKMAH, “Mewariskan Kebaikan, Harian Republika, Rabu, 1 Desember 2010
Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy, Terj. Ahsin Muhammad, Epistimologis Iluminasionis dalam Filsafat Islam, Mizan, Bandung, Agustus 2003, hal 270
Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al Ghazali, PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta, Juni 1999
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius “ Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia”, Erlangga, Jakarta, 2007
Murtadha Mutahhari, Perspektif Al Quran tentang Manusia dan Agama, Mizan, Bandung, Pebruari, 1989/Rajab 1409
¬¬¬-------- Al Adly al Ilahy, Terj. Agus Efendi, Keadilan Ilahi, Mizan, Pebruari 2009
Nadim al Jisr, Qishshas al Iman Bayn al Falsafah wa al Ilm wa al Quran, Terj. Mochtar Zoerni, Para Pencari Tuhan, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998
Nanang Qosim Yusuf, The 7 Awareness, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009
Nurchalish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, “Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan”, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, Cet ke IV, September 2000
Quraish Shihab, Membumikan Al Quran, Mizan, Bandung, Maret 1999
Shehab Magdy, dkk, Al I’jaz al Ilmi fi Alquran wa Sunnah, Terj. Masyah Syarif Hade , Ensiklopedia Mukjizat Al Quran dan Hadits, “ Kemukjizatan Penciptaan Manusia” Sapta Pesona, Bekasi, Indonesia, 2008
Suyoto (Abu Ashfa), Andai Tuhan Komersial, Aditya Media, Yogyakarta, November 2003
William James, The Variates of Religious Experience, United States of America by Longman, USA , 1902
Yasin T al Jibouri, The Concept of God in Islam, “Konsep Tuhan Menurut Islam”, Ansariyan Publications, Qum, Iran, 1418 H/1997
Yusuf Qardhawi, Al Iman wal Hayat, Merasakan Kehadiran Tuhan, Terj, Jazirotul Islamiyah, Mitra Pustaka, Yogyakarta, Mei 2000